Kamis 10 Jul 2025 06:52 WIB

Israel dan Sekutu Panik, Pembungkaman Menjadi-Jadi

Israel mengalami kekalahan telak dalam perang narasi.

Petugas Kepolisian New York menangkap demonstran dari Suara Yahudi untuk Perdamaian yang melakukan protes di Trump Tower, Kamis, 13 Maret 2025, di New York.
Foto: AP Photo/Yuki Iwamura
Petugas Kepolisian New York menangkap demonstran dari Suara Yahudi untuk Perdamaian yang melakukan protes di Trump Tower, Kamis, 13 Maret 2025, di New York.

REPUBLIKA.CO.ID,NEW YORK – Pemberian sanksi terhadap pelapor HAM PBB Francesca Albanese adalah yang terbaru dari rangkaian pembungkaman oleh AS dan negara Barat terhadap suara pembela Palestina. Aksi pembungkaman ini menggejala belakangan seiring kekalahan telak Israel di panggung narasi dunia.

Sanksi terhadap Albanese disampaikan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio melalui cuitannya pada Rabu waktu AS. Dengan sanksi itu, Albanese kemungkinan bakal dilarang memasuki wilayah AS. Ini krusial karena markas PBB, tempat Albanese menyampaikan laporannya, terletak di New York.

Baca Juga

Albanese sejak lama menyoroti berbagai pelanggaran Israel di wilayah Palestina yang dijajah. Namun, laporan terkininya yang menyoroti bagaimana perusahaan-perusahaan besar AS meraup untung dari genosida di Gaza agaknya jadi pemicu sanksi terkini. “Kami tidak akan mentolerir kampanye perang politik dan ekonomi yang mengancam kepentingan dan kedaulatan nasional kami,” kata Rubio.

Marco Rubio juga mengaitkan langkah tersebut dengan dukungan Albanese terhadap Mahkamah Pidana Internasional (ICC), yang beberapa hakimnya telah dijatuhi sanksi oleh AS. Rubio mengatakan AS memberikan sanksi kepada Albanese karena terlibat langsung dengan ICC dalam upayanya mengadili warga negara Amerika atau Israel, dan menuduhnya tidak layak untuk bertugas sebagai Pelapor Khusus PBB.

Ini adalah eskalasi terbaru yang dilakukan pemerintahan Trump ketika mereka melancarkan kampanye melawan ICC, setelah memberikan sanksi kepada empat hakimnya pada 5 Juni lalu. AS mengambil tindakan tersebut setelah pengadilan tahun lalu mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan saat itu Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang di Gaza.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Pada 8 Maret lalu, petugas imigrasi dan bea cukai AS menahan aktivis Palestina Mahmoud Khalil. Ini jadi yang pertama dari upaya penangkapan dan deportasi mahasiswa asing yang mendukung Palestina di AS. Presiden AS Donald Trump juga menghukum kampus-kampus ternama AS lokasi unjuk rasa pro-Palestina dengan ancaman pencabutan subsidi.

Di New York, kandidat kuat wali kota New York City, Zohran Mamdani yang terang-terangan pro-Palestina diancam Trump akan dicabut kewarganegaraannya, dan akan ditangkap jika menghalangi penindakan petugas imigrasi. Surat kabar the New York Times, yang kerap dituding memiliki bias pro-Israel, menjalankan kampanye editorial mencoba menggagalkan terpilihnya Mamdani.

Departemen Luar Negeri AS juga melarang duo rap punk Inggris tampil di Amerika Serikat setelah mereka memimpin massa dalam nyanyian yang mendukung penduduk Gaza yang terkepung dan menyerukan “kematian” bagi pasukan Israel”. Visa untuk Bob Vylan dan kelompoknya yang bernama sama dicabut "mengingat omelan kebencian mereka di Glastonbury, termasuk memimpin massa dalam nyanyian kematian," kata Wakil Menteri Luar Negeri Christopher Landau dalam sebuah pernyataan. 

Rapper tersebut memimpin kerumunan Festival Glastonbury pada Sabtu, 28 Juli lalu, dengan meneriakkan “bebas, bebaskan Palestina” dan “mati, matilah IDF” (Pasukan Pertahanan Israel), menurut video yang dibagikan di media sosial. “Dari sungai hingga laut,” Vylan terlihat mengatakan dalam video yang dibagikan di media sosial, “Palestina harus, akan, insya Allah, pasti merdeka.”

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement