REPUBLIKA.CO.ID, SAINT PETERSBURG -- Presiden Prabowo Subianto menjadi pembicara utama Saint Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025 di ExpoForum Convention and Exhibition Centre, Saint Petersburg, Rusia, Jumat (20/6/2025) sore waktu setempat. Prabowo hadir satu panel dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, Pangeran Bahrain Nasser bin Hamad Al-Khalifa, Wakil Perdana Menteri China Ding Xuexiang, serta Wakil Presiden Afrika Selatan Paul Mashatile.
Menurut Prabowo, SPIEF 2025 mempertemukan para pemimpin dari Barat, Global South, Timur, serta Eurasia. Dia menyebut, Indonesia memandang pertemuan tersebut sebagai kesempatan membangun kepercayaan strategis dan juga peluang untuk melakukan kesepakatan di tengah situasi geopolitik yang semakin kompleks.
"Perkenalkan, saya Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia. Saya baru dilantik pada 20 Oktober 2024, dan inilah forum ekonomi internasional pertama saya, sehingga mungkin saya sedikit gugup," kata Prabowo di hadapan ribuan hadirin sebagaimana dilaporkan wartawan Republika, Erik Purnama Putra di lokasi.
Prabowo menjelaskan, Indonesia adalah negara dengan jumlah populasi terbesar keempat di dunia. Saat ini, penduduk Indonesia sekitar 280 juta jiwa. Setiap tahun, sambung dia, lahir sekitar lima juta warga Indonesia baru, yang setara dengan populasi Singapura.
"Dalam 10 tahun, jumlahnya dapat setara dengan sepuluh Singapura di Asia Tenggara. Ini memberi kita peluang besar, sekaligus tantangan besar: bagaimana memberi makan lima juta mulut baru setiap tahun, menyediakan lima juta tempat sekolah, layanan kesehatan, dan terutama pangan," ujar Prabowo.
Menurut dia, tugas utama pemerintah adalah melindungi rakyatnya, mencakup perlindungan dari kelaparan, kemiskinan, dan penderitaan akibat kondisi sulit. Oleh karena itu, Prabowo memprioritaskan sejumlah program ketika menjabat presiden RI pada 20 Oktober 2024.
"Pertama, mencapai swasembada pangan; kedua, swasembada energi; ketiga, meningkatkan kualitas pendidikan agar masyarakat mampu bersaing di era abad 21; dan keempat, mempercepat industrialisasi Indonesia," ucap Prabowo.
Dia menyebut, salah satu kesalahan besar negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, adalah mengikuti filosofi neoliberal kapitalis pasar bebas, tanpa mengkaji kecocokannya terhadap karakter masyarakat. Akibatnya, kata Prabowo, meski ekonomi Indonesia tumbuh lima persen secara konsisten dalam tujuh tahun terakhir, dampak pertumbuhan itu tidak menyebar merata.