Jumat 11 Apr 2025 11:28 WIB

Persatuan Islam: Tak Ada Urgensi Hapus Kewenangan Kejaksaan Tangani Korupsi

Larangan kejaksaan usut korupsi justru akan menghancurkan citra Presiden Prabowo.

Koruptor (ilustrasi)
Foto: Republika.co.id
Koruptor (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, AKARTA -- Sekretaris Kantor Konsultasi dan Bantuan Hukum Persatuan Islam (KKBH Persis), Zamzam Aqbil Raziqin, mengatakan, DPR nekad mencabut kewenangan jaksa dalam penyelidikan korupsi, maka akan bisa menghancurkan citra Presiden Prabowo Subianto. Tidak ada urgensi apalagi permasalahan di sistem hukum, yang membuat kewenangan pemberantasan korupsi kejaksaan harus dihilangkan.

Hal ini disampaikan Zamzam menanggapi bergulirnya isu pencabutan kewenangan kejaksaan menangani perkara korupsi, melalui revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).  Sekalipun DPR sudah membantah kebenaran isu itu, namun isu ini tetap membuat kekhawatiran elemen masyarakat. 

Dalam Pasal 6 draf RUU KUHAP tentang penyidik, kewenangan penyelidikan korupsi hanya di KPK dan Polri saja. Sedangkan penyidik dari unsur Kejaksaan hilang. "Kalau nanti misalnya ini hanya tersentralisasi di KPK dan Polri misalnya bagi saya ini berisiko memicu tumpang tindih atau justru kekosongan penindakan hukum terkait dengan tindak pidana korupsi," ujar Zamzam, Jumat (11/4/2025). 

Menurut dia, Kejaksaan sudah menyebar di seluruh wilayah di Republik Indonesia. Jika kewenangannya dihilangkan, menurut dia, maka beban KPK dan Polri akan jauh lebih besar lagi dalam melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.

"Kan kalau KPK ini dia tersentralisasi saja kan, terpusat saja di satu titik gitu. Jadi kalau ditanya berdampak atau tidak,  pasti ini memperlemah terhadap kinerja pemberantasan tindak pidana korupsi," ucap Zamzam. 

Tidak hanya itu, menurut dia, hilangnya kewenangan jaksa dalam RUU KUHAP tersebut dapat merusak citra pemerintah Presiden Prabowo Subianto yang berkomitmen dalam pemberantasan korupsi. 

"Kalau perubahan atau di dalam RUU KUHAP ini melemahkan pemberantasan tindak pidana korupsi, ya pasti ini bisa berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap komitmen Presiden Prabowo sendiri dalam gerakan anti-korupsinya," kata Zamzam. 

Dia menjelaskan, kewenangan penyidik Kejaksaan, Polri dan KPK selama ini sebenarnya melahirkan satu sistem check and balances. Namun, kata dia, ketentuan dalam pasal 6 tersebut berpotensi melemahkan salah satu lembaga penegak hukum yang justru sangat progresif dalam memberantas korupsi. 

"Dan sampai sejauh ini juga sebetulnya tidak ada permasalahan secara sistem hukumnya sehingga menyebabkan harus diganti atau harus diubah seperti itu," kata Zamzam. 

Dia belum dapat menilai bahwa ketentuan dalam RUU KUHAP tersebut merupakan langkah serangan balik koruptor. Namun, menurut dia, ketentuan tersebut bisa menjadi celah penyalahgunaan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

"Tapi kalau untuk dikatakan apakah ini serangan balik koruptor saya juga belum bisa menilai gitu," jelas dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement