REPUBLIKA.CO.ID,GAZA Kementerian Kesehatan di Gaza mencatat jumlah syuhada di Gaza akibat serangan Israel telah melampaui 50 ribu jiwa. Jumlah ini dicapai setelah Israel meneruskan genosida brutal yang membunuh lebih dari 600 orang sepekan belakangan.
Kementerian mencatat, setidaknya 41 orang dipastikan syahid dan 61 luka-luka dalam serangan Israel dalam 24 jam terakhir. Korban jiwa ini menjadikan jumlah total warga Palestina yang tewas sejak perang dimulai 17 bulan lalu menjadi 50.021 orang, dengan 113.274 orang terluka. Banyak korban masih terjebak di bawah reruntuhan sehingga tim penyelamat tidak dapat menjangkau mereka, tambahnya.
Israel memulai agresi brutal di Jalur Gaza setelah upaya pejuang Palestina membebaskan Gaza dari kepungan pada 7 Oktober 2023 lalu. Berton-ton bom dijatuhkan Israel ke wilayah tersebut tanpa kecuali. Nyaris tak ada bangunan yang tersisa. Fasilitas umum dan tempat ibadah tak dikecualikan dari pemboman.
Gencatan senjata yang sempat dijalankan pada Desember 2023 dan Januari 2025 hanya berumur singkat. Surat kabar Israel Yedioth Aharonot mengungkapkan, sejak awal Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memang berniat menghabisi Gaza sehancur-hancurnya.
Angka yang dicapai hari ini adalah pencapaian yang sangat suram dan mengerikan. Orang-orang yang memiliki impian, ambisi, dan kehidupan yang dinanti-nantikan kini telah tiada.
Koresponden Aljazirah mencatat, angka 50.000 hanyalah perkiraan konservatif. Ini hanyalah orang-orang yang telah terdaftar di fasilitas kesehatan di Jalur Gaza.
Masih banyak lagi yang terkubur tanpa terdaftar atau hilang, terjebak di bawah tumpukan puing. Serangan Israel baru-baru ini telah menyebabkan lebih banyak korban sipil, menjebak lebih banyak orang di bawah puing-puing beton bangunan yang runtuh.
Dari lebih dari 50.000 orang yang terbunuh, 17.000 di antaranya adalah anak-anak. Seluruh generasi telah musnah. Anak-anak ini akan mempengaruhi kemajuan masyarakat mereka – secara politik, ekonomi dan intelektual.
Sudah lebih dari tiga minggu sejak Israel sepenuhnya memblokir makanan, air, atau obat-obatan untuk memasuki Jalur Gaza yang terkepung. Hal ini menimbulkan ketakutan akan kelaparan, kehausan, dan kematian.
Di dapur amal di Khan Younis – kota utama Gaza selatan di utara Rafah – Iman al-Bardawil (19 tahun), mengatakan banyak pengungsi Palestina berjuang untuk “membeli makanan dan minuman”.
“Kita berada di bulan Ramadhan, yang merupakan bulan yang penuh berkah, dan orang-orang … merasa wajib datang ke dapur umum,” katanya, meratapi “penderitaan” yang dilihatnya di sekitarnya.
Saed Abu al-Jidyan, seperti Bardawil, telah meninggalkan rumahnya di Gaza utara, juga berjuang untuk menyediakan makanan bagi keluarganya. “Saya ke sini mau ambilkan beras untuk anak-anak, tapi berasnya habis,” kata al-Jidyan. “Penyeberangan ditutup dan gaji saya ditangguhkan sejak awal perang… Tidak ada makanan di Gaza.”
Di Rafah selatan, pria, wanita, dan anak-anak Palestina terlihat di sepanjang jalan tanah sambil membawa barang-barang mereka – sebuah pemandangan yang berulang dalam perang yang memaksa sebagian besar penduduk Gaza mengungsi beberapa kali.

“Kami terus ditembaki saat mengungsi,” kata Mustafa Gaber, seorang jurnalis lokal yang meninggalkan Tal as-Sultan bersama keluarganya. Dia mengatakan ratusan orang melarikan diri ketika tembakan tank dan drone Israel bergema di dekatnya. "Ada orang-orang yang terluka di antara kita. Situasinya sangat sulit."
Mohammed Abu Taha, warga lain yang melarikan diri, mengatakan banyak orang tidak dapat mengungsi karena serangan mendadak yang terjadi semalam. Dia mengatakan saudara perempuannya dan keluarganya berlindung di sebuah sekolah di kawasan Rafah yang dikepung oleh pasukan Israel.
Ori Goldberg, seorang komentator politik Israel, mengatakan bahwa masyarakat Israel tidak akan bersimpati dengan berita bahwa jumlah korban tewas di Gaza telah melampaui 50.000 orang selama perang. "Respon pribadi saya adalah kemarahan, kesedihan, dan keterkejutan. Hal ini sepertinya tidak akan terjadi karena ketika angkanya mencapai 45.000 orang, angka tersebut dikatakan palsu, ditambah dengan Hamas," kata Goldberg kepada Aljazirah.
"Secara umum, masyarakat Israel tidak tertarik untuk mengaku bertanggung jawab atas kematian warga Palestina di Gaza. Mereka tidak benar-benar tertarik untuk mengaku bertanggung jawab atas kematian warga Israel di Gaza."

Dia mengatakan media di Israel menunjukkan gambaran pembantaian dan penderitaan di Jalur Gaza, namun “hal ini telah berlangsung begitu lama, setelah beberapa saat, pikiran menjadi mati rasa”.
Sejak awal perang, masyarakat Israel mengatakan “setiap kematian di Gaza ditanggung Hamas, karena berbagai alasan”, tambah Goldberg.