REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti BRIN, Diandra Mengko , mengatakan, revisi UU TNI berpotensi mengubah kedudukan TNI dalam kaitannya dengan Kementerian Pertahanan (Kemhan). Perubahan ini terkait hubungan antara TNI dan Kemhan, yang selama ini menjadi institusi sipil yang mengawasi dan mengkoordinasikan kebijakan pertahanan.
Hal ini disampaikan dalam diskusi bertema ‘Memperluas Kewenangan Vs Memperkuat Pengawasan (Kritik RUU Kejaksaan, RUU Polri dan RUU TNI)’ . Diskusi diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Kamis (13/3/2025).
Perubahan lainnya, menurut Diandra, terkait skema inisiasi operasi militer selain perang (OMSP) dan penambahan jumlah jenis OMSP dari 14 menjadi 17 (Pasal 7). Diandra menilai hal tersebut akan memecah konsentrasi dan kesiapan militer dalam melaksanakan tugasnya.
“Pelibatan militer yang berlebih akan beresiko terjadinya intervensi terhadap ranah sipil,” kata Diandra daam siaran pers. Padahal, lanjut dia, seharusnya, RUU memperjelas dan mempertegas antara tugas pokok dan tugas pembantuan, serta mempertegas kaidah-kaidah dalam melakukan OMSP.
Menurut Diandra, perluasan jabatan sipil bagi prajurit aktif TNI dari sebelumnya 10 Kementerian/Lembaga menjadi 15 Kementerian/Lembaga (pasal 47), akan berimplikasi pada semakin banyaknya posisi strategis di lembaga sipil, yang dapat diisi oleh perwira TNI aktif. Hal ini berisiko menimbulkan tumpang tindih peran antara militer dan sipil.
Selain itu, revisi ini juga berpotensi bertentangan dengan prinsip reformasi TNI yang menegaskan bahwa militer seharusnya tidak terlibat dalam urusan sipil dan pemerintahan di luar bidang pertahanan.
Tidak itu saja, perpanjangan batas usia pensiun bagi prajurit aktif (pasal 53) juga akan memunculkan masalah. Perubahan ini akan berdampak pada sistem regenerasi kepemimpinan di tubuh TNI, efektivitas perencanaan karier prajurit, serta keseimbangan antara tenaga muda dan senior dalam organisasi. “Begitu juga dengan anggaran akan terjadi peningkatan beban anggaran pertahanan,” ungkapnya.