Selasa 25 Feb 2025 17:09 WIB

Tuntutan THR Ojol: Antara Mitra dan Beban Tambahan Perusahaan

SPAI mendesak pemerintah mewajibkan perusahaan ride-hailing memberikan THR.

Sejumlah pengemudi ojek online (Ojol) menggelar aksi demo di depan kantor Kemenaker RI, Jakarta Selatan, Senin (17/2/2025)., menuntut aplikator memberikan tunjangan hari raya (THR).
Foto: Republika/Prayogi
Sejumlah pengemudi ojek online (Ojol) menggelar aksi demo di depan kantor Kemenaker RI, Jakarta Selatan, Senin (17/2/2025)., menuntut aplikator memberikan tunjangan hari raya (THR).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonomi gig adalah sistem ekonomi yang membuat individu bekerja secara fleksibel berdasarkan proyek, tugas, atau permintaan tertentu, tanpa adanya kontrak kerja tetap sebagaimana pekerjaan konvensional. Pekerja dalam ekonomi gig adalah individu yang ketika mendapatkan penghasilan, berdasarkan tugas atau proyek tertentu tanpa adanya hubungan kerja tetap.

Di Indonesia, kategori pekerja gig mencakup, mitra pengemudi dan kurir seperti pengemudi ojek online (ojol) serta kurir layanan pengantaran makanan dan barang; pekerja lepas seperti desainer grafis, penulis, fotografer, penerjemah, editor, hingga pekerja kreatif seperti influencer, YouTuber, dan content creator.

Baca: KSAD dan Deputi Gubernur BI Resmikan Sumur Bor di Mojokerto

Polemik mengenai status mitra yang bekerja sebagai ojol dan tuntutan pemberian tunjangan hari raya (THR) kepada aplikator menjadi sorotan di berbagai media massa di Indonesia. Pemerintah pun mulai terlibat dengan menciptakan beberapa inisiatif hingga berencana mewajibkan pemberian THR bagi mitra platform digital, yang menuai pro dan kontra. 

Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) mendesak pemerintah agar menetapkan regulasi yang mewajibkan perusahaan ride-hailing memberikan THR dalam bentuk tunai, bukan insentif. Namun, kebijakan itu dinilai dapat menjadi beban tambahan bagi perusahaan dan berisiko menghambat pertumbuhan industri ini ke depan.

Baca: Prabowo Ngobrol Bareng Pemred di Hambalang Selama Enam Jam

Direktur Eksekutif Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara), Agung Yudha mengaku, bisa memahami semangat gotong royong dalam mendukung mitra menyambut Lebaran 2025. Berdasarkan data ITB (2023), model kerja fleksibel bahkan telah berkontribusi pada dua persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2022.

"Diberlakukannya kebijakan baru terkait bantuan hari raya (BHR) ini, bisa berpotensi membuat pelaku industri harus melakukan berbagai penyesuaian bisnis yang dapat berdampak pada pengurangan program kesejahteraan jangka panjang yang selama ini telah diberikan untuk mitra," ujar Agung dalam pernyataan pers di Jakarta, Selasa(25/2/2025).

Mengutip Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) BPS, Indonesia memiliki 84,2 juta pekerja informal, dengan 41,6 juta di antaranya sebagai pekerja gig. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,8 juta (4,6 persen) bekerja di layanan ride-hailing, seperti ojek dan taksi online. "Itu artinya, regulasi yang kurang tepat pasti dapat berdampak pada jutaan individu yang menggantungkan hidupnya pada industri ini," kata Agung.

Baca: Taruna Akmil Pertama Tempuh Pendidikan di Akademi Australia

Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti, Aloysius Uwiyono menjelaskan, regulasi yang mengarah pada pengubahan status bukan hanya berdampak pada industri ride-hailing, tetapi juga pada ekosistem investasi dan keberlanjutan ekonomi digital di Indonesia. Menurut, Prof Uwiyono, regulasi yang mengarah pada pengubahan status mitra bakal mempengaruhi peluang kerja dan kesejahteraan jutaan keluarga mitra.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement