Jumat 21 Feb 2025 13:24 WIB

Jimly: Kewenangan Penyidikan Pidana Tertentu Kejaksaan Bisa Ditambahkan

Ada ide agar penyidik PPNS langsung ke kejaksaan.

Kejaksaan Agung, Jakarta, (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Kejaksaan Agung, Jakarta, (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie, mengatakan, dengan melihat beban kerja Kepolisian, maka kewenangan kejaksaan dalam penyidikan langsung perkara tertentu bisa ditambahkan. Asalkan jelas jenis tindak pidana tertentunya, dan diatur dalam ketentuan UU.

Dalam tindak pidana tertentu, kata Jimly, diberikan kewenangan kepada kejaksaan untuk lengsung melakukan penyidikan, seperti tindak pidana korupsi (tipikor) yang proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, bisa langsung sekaligus ditangani kejaksaan.

“Jika mau ditambahi harus jelas jenis tindak pidana apalagi yang dimasukan dalam kategori tindak pidana khusus. Kan tidak hanya tipikor, bisa saja tindak pidana pencucian uang,” jelas Jimly.

Ada ribuan jenis tindak kejahatan yang sekarang ditangani kepolisian. Mengingat beban kerja yang ditangani maka ada beberapa tindak pidana tertentu yang bisa ditambahkan ke kejaksaan. “Bisa saja ditambahkan asalkan diatur dalam ketentuan UU yang ada,” kata Jimly, yang juga menjadi anggota DPD RI periode lalu.

Menurut Jimly, biarkan saja dibicarakan di DPR tentang pidana khusus apa saja yang bisa ditangani kejaksaan. “Inikan dalam rangka memperkuat kejaksaan sekaligus dalam rangka membantu memperkuat kepolisian. Apa kekhususannya sehingga perlu ditangani langsung kejaksaan, sehingga tidak muter bolak-balik kepolisian-kejaksaan,” ungkap Jimly.

Terlebih, lanjut Jimly, saat ini jumlah penyidik sudah kebanyakan. Dijelaskannya, sekarang Kementerian ESDM minta tambahan fungsi penyidikan bahkan di lembaga setingat dirjen.

“Apa iya penting itu? seperti Kementerian Lingkungan Hidup ada Dirjen khusus Dirjen Penegakkan Hukum Lingkungan. Lembaga kementerian di dalamnya ada Gakum (penegakkan hukum). Begitu juga OJK dalam revisi UU OJK ditambahai kewenangan tambahan PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil). Kalau ada kasus pinjol (pinjalam online) penyidiknya langsung dari OJK,” papar Jimly.

Saat ini jumlah PPNS mencapai 56 instansi. Ini belum termasuk jika ada PPNS di ESDM. “Sekarang (penyidik) yang dikenal masyarakat hanya tiga, kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Padahal ada 56 instansi yang punya kewenangan penyidikan,” jelas Jimly.

Koordinasinya bagaimana? Sampai saat ini, kata Jimly, belum jelas. Jika mengacu di UU Kepolisian maka koordinasinya di kepolisian karena sama-sama penyidik. “Tapi kalau di kepolisian penyidikannya akan kayak muter, mulai dari nol lagi,” kata Jimly.

Sehingga, lanjut Jimly, ada ide agar penyidik PPNS langsung ke kejaksaan. Dengan begitu, kata Jimy, fungsi kejaksaan akan lebih kuat sebagai dominis litis atau pemilik perkara pidana.

“Jadi PPNS dikoordinasikan langsung oleh kejaksaan. Kecuali KPK. Kalau di UU KPK maka KPK yang mengkoordinasikan perkara Tipikor, Tapi kalau mau memperkuat kejaksaan maka dominis litis ini yang mengkoordinasi kejaksaan, bukan KPK. Kecuali perkara korupsi yang besar-besar di atas Rp.1 miliar, itu ditangani KPK. Nanti dalam praktik mereka saling koordinasi saja,” papar Jimly.

Pembahasan revisi UU Kejaksaan harus dilakukan secara komprehensif. Kata Jimly, harus dilihat seluruh UU yang berkaitan dengan PPNS di masing-masing lembaga. Termasuk UU TNI yang masih memberi kewenangan pada TNI AL sebagai penyidik di laut. Padahal sudah ada Polisi Air. “Ini harus dikoordinasikan,” ungkapnya.

Jimly menyarankan penggunaan omnibus untuk penataan hukum. Adanya puluhan UU yang mengatur penyidikan harus diintegrasikan dalam satu kesatuan sistem.

“Tapi jangan salah paham, omnibus itu bukan kodifikasi seperti UU Ciptaker. Itu keliru. Itu mengacukan omnibus tehnik dengan kodifikasi. Kalau kodifikasi itu menggabung menjadi satu, itu tidak perlu. Namanya tetap UU Kejaksaan tapi ada pasal-pasal yang mengubah, merujuk pada pasal UU lain,” papar Jimly.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement