Kamis 02 Jan 2025 16:36 WIB

Ambang Batas Pencalonan Presiden Dihapus, Ada Lima Pedoman Penting dari MK

MK beri lima pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusi

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) didampingi hakim anggota Aswanto (kiri) membacakan putusan sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (29/9/2022). Majelis hakim konstitusi memutuskan menolak permohonan dari pemohon yakni dari Partai Keadilan Sejahtera terkait uji materiil UU Pemilu mengenai persoalan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen.
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (kanan) didampingi hakim anggota Aswanto (kiri) membacakan putusan sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (29/9/2022). Majelis hakim konstitusi memutuskan menolak permohonan dari pemohon yakni dari Partai Keadilan Sejahtera terkait uji materiil UU Pemilu mengenai persoalan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold yang selama ini dipatok 20 persen dari perolehan kursi partai politik di DPR RI. MK pun memberikan lima pedoman bagi pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah untuk melakukan rekayasa konstitusional.

Ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan capres-cawapres sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Alasan inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.

Baca Juga

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis (2/1/2025).

Dalam putusan ini, MK memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional agar tidak muncul pasangan capres-cawapres dengan jumlah yang terlalu banyak. Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement