Ahad 22 Dec 2024 14:07 WIB

Akademisi UIN Luruskan Narasi Kejatuhan Assad Kemenangan Umat Islam

Kejatuhan rezim Assad di Suriah dinilai seperti Indonesia saat reformasi 1998.

Pejuang oposisi merayakan runtuhnya pemerintahan Suriah di Damaskus, Suriah, Ahad (8/12/2024). Kekuasaan Partai Baath di Suriah tumbang pada Ahad (8/12/2024). Hal itu ditandai ibu kota Damaskus lepas dari kendali rezim Presiden Bashar al-Assad. Runtuhnya kekuatan pasukan Assad di ibu kota mengakhiri 61 tahun pemerintahan Partai Baath yang penuh kekerasan dan 53 tahun kekuasaan keluarga Assad. 
Foto: AP Photo/Omar Sanadiki
Pejuang oposisi merayakan runtuhnya pemerintahan Suriah di Damaskus, Suriah, Ahad (8/12/2024). Kekuasaan Partai Baath di Suriah tumbang pada Ahad (8/12/2024). Hal itu ditandai ibu kota Damaskus lepas dari kendali rezim Presiden Bashar al-Assad. Runtuhnya kekuatan pasukan Assad di ibu kota mengakhiri 61 tahun pemerintahan Partai Baath yang penuh kekerasan dan 53 tahun kekuasaan keluarga Assad. 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kepala Program Studi Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Robi Sugara, menilai jatuhnya Bashar Al-Assad merupakan bentuk reformasi Suriah layaknya reformasi 1998 yang terjadi di Indonesia. Saat itu masyarakat RI sudah jengah terhadap pemerintahan dan menginginkan adanya perubahan.

“Bashar al-Assad itu kan sebenarnya sudah dikomplain oleh masyarakatnya. Ini betul transisi politik, transisi dari masyarakat yang sebetulnya memang diinginkan,” kata Robi dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Ahad (22/12/2024). 

Baca Juga

Ia justru mengakhawatirkan narasi yang berkembang di Indonesia, khususnya media sosial yang cenderung menganggap ini adalah kemenangan umat Muslim atau para mujahid.

Narasa seperti itu, kata Robi, ini bisa dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok ekstremis, radikal untuk mengembalikan semangat untuk memainkan propaganda untuk menyesatkan masyarakat.

"Tapi yang terpenting sebenarnya adalah memahami orang-orang Indonesia, orang-orang yang di luar Suriah, yang kemudian bisa jadi mereka akan terjebak kelompok teror yang mengatasnamakan agama untuk mengembalikan semangatnya, untuk regroup dan reorganisasi,” katanya.

Menurut dia, Suriah telah melalui masa-masa yang sangat sulit setelah perjuangan panjang rakyatnya. Tidak hanya melibatkan perlawanan fisik, tetapi juga pengaruh dari negara-negara besar, misalnya Turki, Qatar, Amerika dan Israel.

Hal itu, kata dia, diindikasikan lantaran tidak ada perlawanan yang masif ketika Hayat Tahrir Al-Syam (HTS) atau organisasi pembebasan islamis masuk ke Damaskus hingga munculnya pemerintahan transisi dan dirangkulnya kelompok kelompok minoritas untuk bisa hidup berdampingan di Suriah.

Dia memandang bahwa hal itu adalah bentuk diplomasi-diplomasi di tingkat elite yang ditunjukkan dengan hadirnya dunia internasional untuk menormalisasi hubungan dengan pemerintah Suriah yang baru.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement