Senin 16 Dec 2024 05:07 WIB

Kekhawatiran Akademisi Pilkada Kembali Lewat DPRD, Daulat Rakyat Bisa Dipangkas

Pelaksanaan Pilkada langsung juga tetap mesti dikritisi agar bisa lebih baik.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Teguh Firmansyah
Pilkada serentak 2024 (ilustrasi)
Foto: DPR RI
Pilkada serentak 2024 (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Para pengajar ilmu negara, dan tata negara meminta Presiden Prabowo Subianto tak gegabah melanjutkan usulan dan wacananya untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Wacana tersebut dinilai para akademisi hanya menguntungkan para elite partai politik (parpol). Sistem pemilihan tersebut dianggap akan menyingkirkan peran-peran masyarakat sebagai pemilik kedaulatan, dan pemegang hak suara dalam menentukan kepemimpinan.

Baca Juga

Dosen Hukum Tata Negara (HTN) di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur (Jatim) Haidar Adam mengatakan, memang sebetulnya, mengacu Konstitusi Undang-undang Dasar (UUD) 1945 soal pemilihan kepala daerah itu tak ada klausul soal dipilih langsung oleh rakyat, atau melalui DPRD.

“Dalam persepektif normatif, di dalam UUD 1945, secara spesifik terkait pemilihan gubernur, bupati, dan walikota, atau pilkada menggunakan terminologi ‘dilakukan secara demokratis’,” kata Haidar saat dihubungi Republika dari Jakarta, Sabtu (14/12/2024).

‘Secara demokratis’ tersebut, menurut Haidar memang memunculkan defenisi yang luas. Pun ‘secara demokratis’ tersebut harus diakui mengakomodir dua pendapat yang setuju dengan pilkada melalui DPRD dengan konsep pemilihan tak langsung, dan kubu yang menghendaki pemilihan dilakukan langsung melalui peran rakyat sebagai pemilik hak suara.

“Artinya kemudian, pemilihan dengan model apapun, apakah itu langsung atau tidak langsung, selama itu merepresentasikan karakteristik demokratis, maka hal tersebut terkualifikasi di dalam terminologi ‘secara demokratis’ sebagaimana yang dimaksud dalam UUD 1945 sebagai konstitusi itu,” ujar Haidar.

Selama rezim orde baru, pemerintahan Presiden Soeharto menguatkan kontrol terhadap kepala-kepala daerah dengan mengimplementasikan ‘secara demokratis’ dalam konstitusi tersebut, melalui perundang-undangan turunannya.

Orba menjalankan aturan pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dengan sistem pemilihan yang tak langsung melalui lembaga keterwakilan di DPRD. Pun juga di level kepemimpinan nasional, sistem pemilihan yang tak langsung tersebut dengan menyerahkan kewenangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam memilih, dan menunjuk presiden sebagai mandataris.

“Nah, di situ yang kemudian, selama berpuluh-puluh tahun, sirkulasi kepentingan, sirkulasi kekuasaan, dan bobot demokratisasi dalam menentukan kepemimpinan di daerah, maupun di tingkat pusat, hanya dimiliki oleh elite-elite partai politik (parpol) saja, tanpa ada memperhitungkan peran rakyat,” kata Haidar.

Kesadaran rakyat sebagai pemilik kedaulatan, muncul dengan lahirnya era reformasi yang mengubah semua sistem, termasuk dalam masalah kepemiluan sebagai arena kontes kepemimpinan. Yaitu dengan mengembalikan kedaulatan rakyat sebagai pemilik suara, dalam menentukan langsung siapa pemimpinnya.

“Itu yang kemudian sejak era reformasi (kepentingan elite-elite politik) dipangkas sedemikian rupa, dengan memunculkan ide-ide yang mengharuskan adanya partisipasi langsung dari rakyat sebagai pengakuan negara terhadap rakyat sebagai pemilik kedaulatan, dan pemilik suara yang menentukan siapa pemimpinnya,” ujar Haidar.

“Dan dalam konteksnya pilkada, (pemilihan langsung oleh rakyat) itu merupakan suatu progresifitas dalam sistem hukum kepemiluan kita, dengan ikhtiar untuk menghubungkan langsung antara tujuan bernegara yang berbasis pada kehendak rakyat melalui perannya sebagai pemilik suara dan pemilik kedaulatan,” kata Haidar.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement