Jumat 29 Nov 2024 05:05 WIB

Pilkada Jakarta, Satu atau Dua Putaran? Siapa Diuntungkan? Begini Kalkulasi Politiknya

Dua kubu saling klaim soal akankah Pilkada Jakarta berlangsung satu atau dua putaran.

Rep: Tim Republika/ Red: Mas Alamil Huda
Suasana pada debat ketiga pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2024 di Hotel Sultan, Jakarta, Ahad (17/11/2024).
Foto: Republika/Prayogi
Suasana pada debat ketiga pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2024 di Hotel Sultan, Jakarta, Ahad (17/11/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua kubu saling klaim soal akankah Pilkada Jakarta berlangsung satu atau dua putaran. Kubu Pramono Anung-Rano Karno sudah mendeklarasikan diri menang satu putaran yang berarti mendapat perolehan suara 50 persen plus 1 suara.

Di kubu Ridwan Kamil-Suswono mengeklaim Pilgub Jakarta akan dilanjutkan pada putaran kedua, berdasarkan perhitungan internal mereka. Di sisi lain, KPU meminta semua pihak menunggu hitungan manual berjenjang sebagai acuan resmi dalam menentukan jawara Pilkada Jakarta.

Baca Juga

Lili Romli, peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sekarang BRIN, pernah meriset tentang Perdebatan Sistem Pemilihan Umum Legislatif pada Pemilu Serentak 2019 yang dimuat dalam Jurnal DPR. Dalam risetnya ia membahas kelebihan dan kekurangan berbagai sistem pemilu, termasuk sistem dua putaran (runoff) dan dampaknya terhadap representasi politik serta stabilitas pemerintahan.

Ia mengkaji bagaimana sistem pemilu mempengaruhi partisipasi pemilih, efektivitas pemerintahan, dan keadilan dalam representasi politik. Dan ia menemukan bahwa sistem satu putaran dinilai lebih efisien secara biaya dan waktu, namun cenderung menghasilkan representasi yang kurang legitimate karena pemenang tidak selalu mendapat mayoritas mutlak.

Sebaliknya, sistem dua putaran lebih menjamin legitimasi pemenang dengan mayoritas suara, tetapi membutuhkan sumber daya lebih besar dan berpotensi menciptakan instabilitas politik antara dua putaran.

Riset ini menyoroti dilema mendasar dalam pemilihan sistem pemilu yakni efisiensi versus legitimasi. Sistem satu putaran cocok untuk negara yang ingin mengurangi biaya dan waktu penyelenggaraan pemilu, tetapi harus siap menghadapi tantangan legitimasi politik.

Sebaliknya, sistem dua putaran menjanjikan hasil yang lebih representatif dan demokratis, tetapi memerlukan biaya lebih besar dan memiliki risiko instabilitas.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement