Jumat 21 Nov 2025 05:59 WIB

Thrifting Dilarang, Pekerja Lapak Ancang-ancang Balik Medan

Kementerian UMKM mencatat ada sekitar 900 ribu pedagang pakaian bekas di Tanah Air.

Rep: Muhammad Noor Alfian Choir/ Red: Fitriyan Zamzami
Pedagang menata barang dagangan di salah satu kios di Pasar Cimol Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. (ilustrasi)
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Pedagang menata barang dagangan di salah satu kios di Pasar Cimol Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. (ilustrasi)

Oleh Muhammad Noor Alfian Choir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Keresahan menyelimuti sejumlah pedagang dan pekerja di lapak pakaian bekas alias thrifting di kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat. Wacana pelarangan impor pakaian bekas ilegal yang kembali digaungkan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa memicu ketidakpastian baru bagi mereka yang menggantungkan seluruh nafkah hidupnya dari bisnis ini. 

Baca Juga

Pada Kamis malam (20/11/2025), Republika menyusuri pinggir Jalan Pasar Senen yang mulai ramai oleh deretan pakaian, hanger besi, dan lampu-lampu seadanya yang menggantung di atas lapak thrifting. Aroma kain bercampur asap kendaraan memenuhi udara. 

Sejak magrib, satu per satu pekerja sibuk menata setumpuk jaket, jeans, dan kemeja bekas yang baru saja dikeluarkan dari karung besar. Di sela keramaian, warga hilir mudik—ada yang membeli, ada yang hanya sekadar menawar sambil menikmati suasana malam di Senen.

Dari tiga pekerja yang ditemui Republika malam itu, semuanya meminta namanya disembunyikan karena takut dianggap berjualan barang ilegal seturut regulasi terkini. Nada bicara mereka seragam: resah. Meski bekerja masih jalan terus  karena menurut mereka kalau tak buka lapak, tak ada uang yang masuk.

Seorang pekerja yang sudah delapan tahun mengais rezeki dari lapak thrifting mengaku situasi mulai berubah sejak isu pelarangan impor kembali menguat.  “Sekarang barang nggak masuk, Bang. Bos-bos pada berhenti ambil barang. Kita karyawan ini kan tergantung barang. Upah kita tergantung berapa yang kita jual. Kalau stok seret begini, ya ikut seret juga penghasilan,” katanya pelan sembari melihat kejauhan. 

Suasana lapak-lapak penjual pakaian bekas alias thrifting di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2025).

Menurutnya, sebagian pekerja hanya mampu membawa pulang Rp 80–100 ribu per hari, itupun bekerja dari habis maghrib sampai dini hari. Di akhir pekan, hasilnya sedikit lebih baik. Namun sejak isu pelarangan kembali muncul, jumlah pembeli menurun, stok barang menipis, dan pedagang mulai resah menghadapi kemungkinan terburuk.

“Kalau diberhentiin gitu aja, kami ini mau makan apa? Ini masalah perut, Bang,” katanya. Baginya, banyak pekerja di sektor thrifting datang dari latar belakang pendidikan minim dan sulit bersaing di pasar kerja formal. Ia, seperti banyak penjaga lapak lainnya, mendaku berasal dari Medan, Sumatra Utara.

Nyari kerja sekarang setengah mati. Harus ada pengalaman, harus lulusan ini itu. Bahkan lulusan S1 pun sulit katanya nyari kerja. Saya sendiri nggak lulus SMA. Kalau ini ditutup, solusi kami apa?” tutur pekerja berusia 27 tahun itu. 

Ia menambahkan, sebagian besar pedagang maupun pekerja bangkit dari kondisi ekonomi rendah dan justru melihat thrifting sebagai ruang untuk berkembang. Mulanya penjaga lapak, beberapa saat ini bisa membuka lapak sendiri. “Ya adalah peningkatannya,” katanya. 

Menurutnya, jika pemerintah benar-benar ingin menghentikan impor pakaian bekas, setidaknya perlu ada bentuk kompensasi atau alih pekerjaan. “Kalau misalnya pemerintah datang, lihat langsung bagaimana hidup kami, terus bilang ‘nanti kamu kerja di sini, gajinya disesuaikan’, pasti kami ikut. Tapi jangan cuma stop, terus kami dibiarkan begitu saja,” katanya.

Suasana lapak-lapak penjual pakaian bekas alias thrifting di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Kamis (21/11/2025).

“Bukan kami tak mau taat aturan. Cuma tolonglah, lihat dulu kehidupan kami. Kan ada itu yang tua-tua, mau kerja apa lagi kalau misalnya thrifting berhenti? Kami ini cuma mau hidup, cari makan.”

Di sisi lain, ia menilai persoalannya bukan sekadar soal produk lokal kalah saing, tetapi soal kualitas dan kemampuan beli masyarakat. “Kalau kualitas lokal bagus dan harganya cocok, thrifting juga bisa mati sendiri. Konsumen itu yang milih. Tapi kalau lokal harganya Rp 150 ribu, di sini ya kisaran Rp 10-50 ribu dengan kualitas mirip, orang pasti pilih yang murah, bukan berarti saya anti produk lokal ya, saya juga pernah beli,” ujarnya.

Ia berdalih, thrifting justru menciptakan ruang-ruang ekosistem ekonomi yang luas—dari pedagang minuman, makanan, hingga tukang parkir di kawasan tersebut. “Kalau kami berhenti, mereka juga berhenti. Dampaknya panjang, Bang. Yang jual kopi, air, makanan, semua ikut kena.” 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement