REPUBLIKA.CO.ID, JALUR GAZA -- Yahya Sinwar menggapai Syahid yang ia impikan. Pemimpin Hamas itu gugur di tangan tantara rezim Zionis dalam pertempuran di Gaza selatan. Hamas telah mengonfirmasi gugurnya Sinwar, dan menyatakan bahwa perjuangan rakyat Palestina tak akan pernah berhenti.
"Hadiah terbesar yang bisa diberikan oleh musuh dan pendudukan kepada saya adalah membunuh saya," ujar Sinwar dalam sebuah pidato pada 2021 lalu,
"Saya lebih baik mati sebagai 'martir' di tangan pasukan Israel daripada 'mati sia-sia oleh kematian'."
Israel telah menjadikan Yahya Sinwar sebagai buronan nomor satu setelah Ismail Haniyeh dibunuh Zionis di Teheran pada Juli 2024 lalu. Yahya Sinwar dianggap Israel sebagai dalang penerobosan perbatasan pada Oktober 2023 lalu.
Yahya Sinwar merupakan pria kelahiran Oktober 1962. Ia lahir di Kamp Pengungsian di Khan Younis 63 tahun lalu. Ketika itu, kamp pelarian tersebut masih dalam penguasaan militer Mesir selama Perang Arab-Zionis Israel 1948, atau yang dikenal sebagai al-Naqba.
Keluarga, dan kedua orang tua Yahya Sinwar, diusir paksa dari tanah moyangnya di Majdal Asqalan, yang sekarang dberganti nama menjadi Ashkelon dalam peta aneksasi Zionis Israel.
Media di Palestina, al-Quds News Network menyebutkan Yahya Sinwar, adalah penganut Islam Sunni.
Lahir di pengungsian, dan besar di zona peperangan di Jalur Gaza, namun Yahya Sinwar tetap berpendidikan. Yahya Sinwar tercatat memiliki gelar kesarjanaan di Universitas Islam Gaza.
Pada 1980-an, Yahya Sinwar mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan politik. Aktivismenya ketika itu sempat berujung pada pemenjaraan. Saat di Penjara Far’a, pada awal-awal 1980-an, Yahya Sinwar mulai berkenalan dengan aktivis dan pejuang-pejuang Hamas, termasuk berkelindan dalam sayap militer Hamas-Brigade al-Qassam.
Reputasi Yahya Sinwar di Hamas, paling disorot menjelang ujung 1985-an. Ketika itu, dia digelari ‘Penjagal dari Khan Younis’ dalam gerakan al-Majd. Gelar tersebut mengacu pada reputasinya yang dianggap berhasil mengidentifikasi, bahkan menghabisi orang-orang yang mengaku sebagai Palestina, tetapi berkolaborasi dan menjadi antek-antek Zionis Israel.
Pada 1988 Yahya Sinwar pernah diberitakan melakukan pembunuhan terhadap dua tentara Zionis Israel, dan empat orang Palestina yang menjadi mata-mata Zionis Israel.
Reputasi tersebut, membawa Yahya Sinwar yang juga dikenal sebagai Abu Ibrahim keluar masuk penjara di Israel selama kurang lebih 22 tahun. Pada 2011, Yahya Sinwar menjadi salah-satu pejuang Hamas yang dibebaskan melalui pertukaran tawanan saat pejuang di Jalur Gaza berhasil menyandera tentara Zionis Israel, Ghilat Salid.
Pada 2013, Yahya Sinwar menjadi anggota Biro Politik Hamas di Jalur Gaza. Dan pada 2017 dia menjadi pemimpin perjuangan Hamas di Jalur Gaza dan menjadi otak setiap aksi-aksi bersenjata, dalam perlawanan terhadap Zionis Israel.
Pemerintahan Amerika Serikat (AS) pernah menyalahkan pemerintah Zionis Israel yang menyertakan Yahya Sinwar dalam pertukaran tawanan dengan Hamas.
Departemen Luar Negeri AS, melabeli Yahya Sinwar sebagai salah-satu orang paling berbahaya dalam struktur Hamas, dan memasukkan namanya dalam daftar teroris global. Pemerintahan sayap kanan di Tel Aviv, juga menebalkan nama Yahya Sinwar sebagai salah-satu tokoh Hamas yang harus segera dimatikan.
Rekaman terakhir Sinwar
Pada Kamis (17/10/2024), pemerintah dan militer Israel mengkonfirmasi bahwa Sinwar terbunuh di Gaza dalam baku tembak di Rafah. Pasukan Pertahanan Israel (IDF) merilis rekaman drone yang diklaim sebagai pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, di saat-saat terakhirnya sebelum dia terbunuh.
Dalam rekaman drone tersebut, pria yang disebut sebagai Sinwar itu terlihat duduk di kursi di ruang tamu yang sebagian besar telah hancur.