Jumat 18 Oct 2024 06:49 WIB

Guru Besar St Petersburg Soroti Eskalasi Konflik Israel-Palestina-Libanon

Kedutaan Besar Rusia dan Polandia di media sosial terlibat dalam ketegangan.

Guru Besar Hubungan Internasional Universitas St. Petersburg, Profesor Connie Rahakundini (kiri) dan Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Sergei Tolchenov.
Foto: istimewa/tangkapan layar
Guru Besar Hubungan Internasional Universitas St. Petersburg, Profesor Connie Rahakundini (kiri) dan Duta Besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Sergei Tolchenov.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Guru Besar Hubungan Internasional Universitas St. Petersburg, Profesor Connie Rahakundini, menilai, dunia internasional setengah-setengah dalam hal menyikapi perkembangan konflik antara Israel dengan Palestina dan Libanon. 

“Uni Eropa tidak konsisten, berubah-ubah. Libanon adalah jajahan Perancis, tapi diam saja, tidak terlihat membatasi ruang gerak Hizbullah di Libanon. Sedangkan Inggris juga sama. Padahal keberadaan negara Israel di wilayah itu adalah akibat dari perjanjian antara Inggris dan Perancis,” kata Connie dalam siaran pers, Kamis (1710/2024). 

Menurutnya, bila memang dunia internasional, terutama negara-negara Barat ingin berbuat sesuatu, bisa saja dalam bentuk penerapan sanksi. “Dikekang saja dengan sanksi,” kata dia.

Sebelumnya, duta besar Federasi Rusia untuk Indonesia, Sergei Tolchenov menyatakan, Inggris dan Perancis bertanggung jawab atas pecahnya perang dunia II. 

Tolchenov mengingatkan,  30 September 1938, menandai salah satu halaman paling tragis dalam sejarah, peristiwa yang tidak ingin diingat kembali oleh Barat. “Tepat pada hari itu “Perjanjian Munich” ditandatangani oleh Inggris Raya, Prancis, Jerman dan Italia, dengan keterlibatan Polandia dan Hungaria. Persetujuan bersama tersebut membuka jalan bagi kehancuran negara Cekoslowakia, dan menjadi awal mula Perang Dunia II,” demikian ditulis Tolchenov, seperti dikutip dari akun instagram Kedubes Rusia. 

Ia berpendapat bahwa bagi bangsa Indonesia, peristiwa yang terjadi di Eropa pada tahun 1930 hingga 1940-an itu mungkin tampak jauh dari sisi ruang dan waktu. Namun penting bagi masyarakat Indonesia untuk mengetahui dan mengingat penyebab pecahnya Perang Dunia II serta bantuan yang diberikan Inggris dan Prancis kepada Nazi. “Hikmah dari apa yang pernah terjadi di waktu lampau, saat ini menjadi lebih relevan dari sebelumnya,” tulis Tolchenov.

Ia menyebut bahwa Perancis dan Inggris pada periode 1933-1939 menerapkan “kebijakan appeasement” (kebijakan pemuasan) untuk Hitler. Hal itu menyiratkan bahwa Paris dan London membuat sejumlah kelonggaran terhadap Nazi Jerman, dengan harapan mereka mampu mengekang hasrat Berlin dan melindungi diri mereka dari serangan.

Lebih lanjut, Tolchenov berpendapat, alih-alih bekerja sama dengan Moskow untuk menciptakan sistem keamanan kolektif di Eropa (seperti yang ditekankan oleh diplomat Soviet) dan membendung agresivitas Jerman, Inggris dan Prancis justru memilih menggunakan agresivitas Nazi sebagai upaya melemahkan Uni Soviet.

Opini tersebut kemudian membuat dua akun resmi Kedutaan Besar Rusia dan Polandia di media sosial terlibat dalam ketegangan. Mereka berdua saling lempar tuduhan mengenai peran Rusia (dulu bernama Uni Sovyet) dan negara-negara Eropa Barat menjelang meletusnya perang dunia ke II. 

Pihak Polandia, lewat akun twitter (X) @PLdiIndonesia mencoba mengingatkan bahwa Rusia berkawan dengan Nazi dan menginvasi Polandia dan Finlandia, serta mencaplok sebagian wilayah Hongaria, Norwegia, Islandia, dan juga Rumania. Setelah itu, Kedutaan Besar Rusia di Indonesia juga melansir pernyataan resminya lewat akun Instagram @rusemb_indonesia. Mereka menyatakan bahwa pihak perwakilan Warsawa dan Kiev di Indonesia, tidak melakukan analisis fakta yang komprehensif dan bertindak kekanakan serta menggunakan ‘meme’ propaganda Barat. “Meniadakan kebenaran sejarah sama dengan melakukan penipuan sejarah,” demikian diposting dalam akun instagram Kedubes Rusia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement