Rabu 10 Jul 2024 20:15 WIB

Rusia Nilai Situasi di Semenanjung Korea Telah Capai Kebuntuan yang Berbahaya

Rusia tidak tertarik untuk meningkatkan konflik di perbatasan Timur Jauhnya.

Dalam foto yang disediakan oleh Kementerian Pertahanan Korea Selatan ini, pesawat pengebom B-52H A.S., tengah atas, dan jet tempur F-16 dan jet tempur F-35A Angkatan Udara Korea Selatan, kanan atas, terbang di atas Semenanjung Korea selama latihan udara bersama di Korea Selatan, Jumat (14/4/2023). Korea Utara mengatakan pada hari Jumat bahwa pihaknya telah melakukan uji terbang rudal balistik antarbenua berbahan bakar padat untuk pertama kalinya, sebuah kemungkinan terobosan dalam upayanya untuk mendapatkan senjata yang lebih kuat dan sulit dideteksi dengan target benua Amerika Serikat.
Foto: South Korea Defense Ministry via AP
Dalam foto yang disediakan oleh Kementerian Pertahanan Korea Selatan ini, pesawat pengebom B-52H A.S., tengah atas, dan jet tempur F-16 dan jet tempur F-35A Angkatan Udara Korea Selatan, kanan atas, terbang di atas Semenanjung Korea selama latihan udara bersama di Korea Selatan, Jumat (14/4/2023). Korea Utara mengatakan pada hari Jumat bahwa pihaknya telah melakukan uji terbang rudal balistik antarbenua berbahan bakar padat untuk pertama kalinya, sebuah kemungkinan terobosan dalam upayanya untuk mendapatkan senjata yang lebih kuat dan sulit dideteksi dengan target benua Amerika Serikat.

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Situasi di Semenanjung Korea telah mencapai kebuntuan yang berbahaya, dan Rusia tidak tertarik untuk meningkatkan konflik di perbatasan Timur Jauhnya. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Departemen Organisasi Internasional di Kementerian Luar Negeri Rusia Pyotr Ilyichev.

"Situasi di sekitar Semenanjung Korea telah mencapai kebuntuan yang berbahaya dengan peningkatan ketegangan yang berkelanjutan," kata Ilyichev kepada Sputnik pada Rabu (10/7/2024).

Baca Juga

Menurut dia, Amerika Serikat dan sekutunya yang dengan keras kepala mengikuti jalur konfrontasi dan memprovokasi Pyongyang adalah penanggung jawab utama untuk situasi saat ini di kawasan tersebut. Washington dan sekutunya telah menjadikan sanksi Dewan Keamanan PBB sebagai alat tekanan yang "abadi" terhadap lawan yang tidak tunduk pada kehendak mereka.

"Washington dan sekutunya memperkuatnya dengan tindakan pemaksaan sepihak yang ilegal," kata Ilyichev.

"Kami tidak tertarik melihat pusat ketegangan semakin memanas di perbatasan Timur Jauh kami. Oleh karena itu, kami menyarankan agar pihak-pihak terkait menghentikan siklus provokasi dan tuduhan timbal balik, meninggalkan keinginan untuk menyelesaikan masalah dengan kekuatan atau ancaman, dan mulai bernegosiasi," lanjut Ilyichev.

Sebelumnya pada Juni lalu, pasukan Jepang, AS, dan Korea Selatan mengadakan latihan militer trilateral di Laut China Timur. Latihan militer itu akan digelar setiap tahun. Latihan yang dirancang dalam pertemuan tiga pihak di Camp David pada Agustus tahun lalu itu dilakukan untuk meningkatkan kerja sama militer di tengah ketegangan di Semenanjung Korea akibat peningkatan uji coba rudal balistik oleh Korea Utara.

Kementerian Luar Negeri Rusia mengatakan bahwa aliansi militer trilateral antara Washington, Seoul, dan Tokyo tidak hanya ditujukan terhadap Korea Utara, tetapi juga untuk menahan Moskow dan Beijing. Ancaman nyata satu-satunya di kawasan Indo-Pasifik adalah kebijakan AS, sementara masalah lainnya, termasuk kebijakan rudal Korea Utara, harus diselesaikan melalui respons kolektif, tambah kementerian tersebut. 

 

sumber : Antara, Sputnik, OANA
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement