Jumat 05 Jul 2024 05:59 WIB

Pengacara Hukum Pegi: Ahli Hukum Polda Ngeles, Coba Sembunyikan Kelemahan Penyidik

Prof Agus Surono menilai penetapan tersangka sah, jika sudah ada dua alat bukti.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Teguh Firmansyah
Sidang praperadilan Pegi Setiawan masih digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LRE Martadinata, Kota Bandung, Kamis (4/7/2024). Sidang praperadilan terkait kasus pembunuhan Vina dan Eky kali ini, tim kuasa hukum Polda Jabar, selaku termohon praperadilan menghadirkan saksi ahli pidana dari Universitas Pancasila Jakarta yaitu Agus Surono.
Foto: Edi Yusuf
Sidang praperadilan Pegi Setiawan masih digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jalan LRE Martadinata, Kota Bandung, Kamis (4/7/2024). Sidang praperadilan terkait kasus pembunuhan Vina dan Eky kali ini, tim kuasa hukum Polda Jabar, selaku termohon praperadilan menghadirkan saksi ahli pidana dari Universitas Pancasila Jakarta yaitu Agus Surono.

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Sidang praperadilan yang diajukan pihak Pegi Setiawan, tersangka dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon pada 2016, kembali berlangsung di Pengadilan Negeri Bandung, Kamis (4/7/2024). 

Kali ini, sidang tersebut mendengarkan keterangan dari saksi ahli pidana yang dihadirkan oleh Polda Jawa Barat selaku termohon, yakni Prof Agus Surono, seorang guru besar Universitas Pancasila.

Baca Juga

Namun, keterangan yang disampaikan Profesor Agus dalam sidang itu menimbulkan kekecewaan pada tim penasehat hukum Pegi Setiawan.

"Kami melihatnya Profesor Agus Surono selaku ahli di sidang pra peradilan itu menutup-nutupi jika keterangannya itu dapat melemahkan pihak penyidik Polda Jawa Barat. Itu yang kami lihat," ujar salah seorang kuasa hukum Pegi Setiawan, Toni RM, Kamis (4/7/2024).

Toni menjelaskan, saat di awal sidang, hakim melontarkan pertanyaan kepada Agus mengenai syarat penetapan DPO. Pertanyaan itu dijawab Agus, di antaranya biasanya didasarkan pada putusan pengadilan.

Selanjutnya, hakim menanyakan apakah diperlukan pemanggilan terhadap seseorang sebelum ditetapan sebagai DPO. Pertanyaan itu dijawab Agus dengan jawaban"tidak perlu kalau tertangkap tangan. Sedangkan jika tidak tertangkap tangan, biasanya didasari oleh laporan polisi (LP)."

Setelah melalui serangkaian proses penyelidikan atau penyidikan, kemudian dilakukan pemanggilan-pemanggilan. "Jadi jawaban Pak Agus Surono itu harus dilakukan pemanggilan-pemanggilan kalau yang tidak tertangkap tangan,’’ terang Toni.

Toni melanjutkan, hakim kemudian bertanya berapa kali dilakukan pemanggilan, Agus menjawab dua kali.

"Sehingga hakim melihat keterangan ahli ini bahwa kalau yang tidak tertangkap tangan, berarti harus dilakukan pemanggilan minimum dua kali, sebelum ditetapkan sebagai DPO,’’ ucap Toni.

Selain itu, lanjut Toni, hakim juga menanyakan proses penetapan tersangka. Agus menjawab bahwa penetapan tersangka itu harus mendasarkan minimum dua alat bukti yang diatur dalam pasal 184 KUHAP.

Hakim juga menanyakan apakah sebelum ditetapkan sebagai tersangka, seseorang  perlu dilakukan pemeriksaan sebagai saksi.

"Nah Pak Agus Surono menjawab, sebenarnya tau dia ini. Jadi di dalam Putusan MK Nomor 21 Tahun 2014, katanya, meskipun dalam pertimbangannya ada bahwa harus diperiksa calon tersangkanya, tapi itu tidak wajib, katanya, itu terserah penyidik yang menetapkan tersangka,’’ ucap Toni.

"Nah ketika ditanya, apabila tidak dilakukan pemanggilan, apakah penetapan DPO-nya sah atau tidak, eh Pak Agus Surono menjawab, 'saya tadi tidak pernah menjelaskan prosedur penetapan DPO. Yang saya jelaskan adalah prosedur penetapan tersangka'. Ngeles ini Pak Agus Surono,’’ kata Toni melanjutkan.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement