REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, Muhammad Jusuf Kalla (JK), menyatakan demokrasi di Indonesia telah berjalan dengan berbagai caranya. Dia menyebut era Presiden Sukarno sebagai demokrasi terpimpin.
Lalu, pada era Presiden Soeharto, demokrasi di Indonesia dikenal dengan istilah demokrasi Pancasila. Saat ini Indonesia menerapkan demokrasi yang lebih terbuka, khususnya pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Namun, JK mempertanyakan apa yang terjadi dengan demokrasi dan kepemimpinan Indonesia saat ini. Saat Pemilu 2024 berlangsung, sambung dia, banyak pihak yang menyuarakan agar Pemilu 2024 tidak menjadi forum kontestasi yang tidak transparan dan tak adil.
''Gabungan dari semua itu tentu menyebabkan adanya, saya katakan tadi, maka demokrasi yang kita harapkan mendambakan suara rakyat, menjadi terbeli oleh kemampuan-kemampuan pada hal yang menentukan pemilu yang lalu. Itu yang terjadi,'' ujar JK dalam sambutannya di Aula Juwono Sudarsono Universitas Indonesia, Kota Depok, Jawa Barat, Kamis (7/3/2024).
JK menilai indikasi kecurangan jangan dibiarkan terjadi pada pesta demokrasi. Jika hal tersebut terus terjadi, Indonesia bisa kembali terjebak dalam masa otoriter.
''Itu saja masalahnya sebenarnya,'' ujar mantan ketua umum DPP Partai Golkar itu.
Sebelumnya Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR mendorong terbentuknya panitia khusus (pansus) hak angket untuk menyelidiki indikasi kecurangan Pemilu 2024. Anggota Fraksi PKB DPR, Luluk Nur Hamidah dalam interupsinya di sidang kabinet, menegaskan, pemilu harus berdasar pada prinsip kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan etika yang tinggi.
Dia menyebut jangan sampai ada upaya mobilisasi untuk memenangkan satu pihak tertentu. ''Tidak ada boleh satupun pihak-pihak yang mencoba memobilisasi sumber daya negara, untuk memenangkan salah satu pihak,'' ujar Luluk dalam Rapat Paripurna ke-13 DPR Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023-2024, Selasa (5/3/2024).