REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) final dan mengikat. Termasuk soal putusan MK soal jadwal pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 yang tetap digelar pada November 2024.
"Tentunya putusan MK itu final dan banding, sehingga saya belum baca, tetapi patokannya adalah putusan MK final dan banding, dan semua pihak harus tunduk dan patuh terhadap keputusan itu," singkat Dasco di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Sebelumnya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya yang menolak revisi UU Pilkada menjadi RUU usul inisiatif DPR. Terdapat delapan alasan penolakan yang diberikan kepada pimpinan DPR.
Pertama adalah pengaturan tentang Pilkada harus menjunjung semangat demokrasi yang beradab. Serta tidak menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan, mengedepankan kepentingan masyarakat, dan menghormati hukum yang telah ditetapkan.
Apalagi alasan untuk merevisi UU Pilkada adalah untuk mempercepat pelaksanaannya, dari yang awalnya November menjadi September 2024. Di mana awalnya percepatan tersebut akan diatur lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).
Kedua, Fraksi PKS memandang pembahasan revisi UU Pilkada dilakukan tergesa-gesa. Ia menyoroti bagaimana Badan Legislasi (Baleg) yang tiba-tiba membahas penyusunan drafnya pada masa reses DPR.
Ketiga, revisi UU Pilkada tidaklah masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2023. Ada kesan disusun dan dibahasnya revisi UU Pilkada dipaksakan jika hanya mengacu pada putusan MK terkait Panwaslu dan syarat calon kepala daerah.
Selanjutnya, percepatan pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 ke September akan menimbulkan ketidaksiapan penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) 2024. Terutama adanya potensi pemilihan presiden (Pilpres) akan dilaksanakan dalam dua putaran.
Kelima, percepatan jadwal pelaksanaan pilkada akan berdampak biaya penyelenggaraan yang akan semakin besar. Hal tersebut disebabkan waktu persiapan pilkada yang lebih singkat, sehingga menyebabkan pengadaan logistik Pilkada, biaya pelatihan petugas, biaya operasional dan lain-lain yang berkaitan dengan pilkada harus dipersiapkan secara cepat.
Keenam, percepatan pelaksanaan pilkada menjadi pada November akan mengurangi waktu persiapan bagi peserta. Sehingga bisa berpotensi merugikan partai politik yang akan menyiapkan seleksi internal bagi calon kepala daerah yang akan diusungnya.
Ketujuh, percepatan jadwal pilkada tersebut berdampak pada waktu kampanye menjadi sangat singkat yaitu maksimal 35 hari. Sehingga proses kampanye ide dan gagasan kepada masyarakat menjadi lebih terbatas dan tidak optimal.
Terakhir, rencana percepatan pelaksanaan Pilkada 2024 akan menimbulkan prasangka dan kegaduhan di masyarakat. Sehingga bisa mendorong ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemilu, karena sangat kentara dengan kepentingan politik.