Kamis 18 Jan 2024 00:03 WIB

Sejarah Carok, Legenda Sakera, dan Dimensi Pidana Berbalut Hukum Adat

Sejarah carok di Madura terkait dengan legenda Sakera pada zaman penjajahan Belanda.

Senjata tajam untuk carok. (ilustrasi)
Foto:

Carok dan Sakera

M Wasli dalam ‘Tradisi Nyikep (Membawa Sajam) Clurit Masyarakat Desa Larangan Perreng Madura’, mengatakan perluasan makna carok tersebut dapat dilacak setidaknya dari era penjajahan VOC Belanda, abad ke-18, ke-19. Dikatakan carok pada era tersebut lebih pada bentuk perlawanan atas penindasan dari orang-orang asing.

Dan penentangan fisik atas kesemena-menaan para tuan-tuan tanah. Yang menurut orang Madura, penindasan adalah bentuk paksa, perendahan harga diri seseorang. Bagi orang Madura, perendahan harga diri tersebut, tak bisa ditawar-tawar. Karena bakal menanggung malo. 

Lebbi begus pote tollang e tembeng pote matah,” begitu pepatah Madura. Yang artinya, lebih baik mati berkalang tanah ketimbang menanggung malu.

Carok sebagai perlawanan atas penindasan itu terekam dalam cerita rakyat tentang sang legenda Sakera. Diceritakan Sakera, adalah nama lain dari Sagiman, atau Sadiman. Banyak yang percaya, nama itu adalah seorang pendekar asli Pasuruan, asal Pulau Madura yang hidup pada saat kolonialisme Belanda bercokol di Nusantara. 

Sagiman, atau Sadiman, disebut mudanya adalah seorang santri, dan menjalani kesehariannya dengan nilai-nilai Islam. Namanya bergeser menjadi Sakerah, karena Sagiman, atau Sadiman lihai ber-kerah, atau bertarung. Itu sebabnya, Sakera, punya makna lain Sang Kerah, atau Sang Petarung.

Sakera diceritakan adalah mandor perkebunan tebu dan pabrik gula Kancil Mas di Bangil. Sakera dalam kesehariannya menenteng senjata parang melengkung seperti sabit yang disebut monteng. Senjata tersebut, menjadi satu dari lima jenis senjata yang kini disebut sebaga celurit. 

Pada era tersebut VOC mengandalkan cultuurstelsel atau tanam paksa sebagai peningkatan tanaman bahan baku gula itu. Hal tersebut pun membuat VOC menggandeng tuan-tuan tanah lokal dalam menguasai lahan-lahan milik warga untuk ditanami tebu secara masif.

Namun begitu, dalam mendapatkan lahan-lahan tebu tersebut, VOC bersama-sama tuan-tuan tanah mengandalkan para jagoan lokal, atau blater sebagai serdadu bayaran. Para blater adalah preman-preman yang memaksa warga memberikan lahan-lahan agar ditanami tebu. Para blater Belanda itu dibekali senjata yang serupa seperti yang digunakan Sakera sehari-hari. Yakni celurit monteng.

Di Kancil Mas Bangil tempat Sakera menjadi mandor, didominasi pekerja-pekerja asal Madura. Para pekerja itu sering mengeluhkan nasibnya kepada Sakera. Dan Sakera sering juga membela, dan melindungi para pekerja paksa itu dari kebengisan tuan-tuan tanah, dan para blater-nya itu.

Tuan tanah tak punya nyali berhadap-hadapan dengan Sakera. Tetapi para blater, sama-sama jagoan seperti Sakera. Tenar sebagai pembela para pekerja paksa itu, Sakera juga menjadi tempat para pemilik-pemilik lahan yang dirampas perkebunannya. Situasi tersebut, membuat Sakera sering berhadap-hadapan dengan para blater dalam duel maut, maupun pertarungan fisik untuk membela orang-orang Madura yang ditindas.

Diceritakan, sepak terjang Sakera itu sampai ke Polisi Belanda. Lalu kompeni mengutus seorang bernama Markus dan Carik Rembang untuk menyudahi aksi-aksi Sakera dalam melindungi pekerja-pekerja Madura.

Markus diceritakan sering melakukan penyiksaan terhadap orang-orang Madura yang kerja paksa di perkebunan dan pabrik gula Kancil Mas Bangil. Lalu Sakera, pun diceritakan membunuh Markus di ladang tebu. Karena yang dibunuhnya adalah polisi kompeni, Sakera, pun menjadi incaran serdadu Belanda.

Situasi tersebut membuat Sakera menjadi buron pemerintah Hindia Belanda.  Carik Rembang diceritakan berhasil menangkap Sakera setelah mengancam akan membunuh ibunya. 

Sakera lalu diseret ke penjara di Bangil. Ragam cerita rakyat menyebutkan Sakera selama di penjara, mendapatkan banyak penyiksaan. Tetapi sepak terjang Sakera di luar penjara, membuat sebagian masyarakat para korban penindasan kerja paksa, mengambil jalur serupa untuk melawan dengan senjata monteng celurit.

Perlawanan dengan senjata tajam tradisional tersebut, mulai dikenal sebagai carok. Carok dilakukan antara satu lawan satu, atau satu lawan dua, atau satu lawan tiga. Carik Rembang, pun dikabarkan tewas dalam carok. 

Di dalam penjara, Sakera mendapatkan kabar jika istrinya, Marlina diperlakukan tak senonoh. Bahkan dikawin paksa oleh Brodin seorang jagoan piaraan kompeni. Mendengar kabar tersebut Sakera diceritakan melarikan diri dari penjara.

Sakera mencari Brodin. Setelah bertemu, Sakera dikabarkan menghadapi Brodin dengan cara carok, duel satu lawan satu menggunakan celurit. Brodin, disebut dalam banyak riwayat tewas. Dan Sakera kembali ditangkap oleh Polisi Belanda.

Setelah penangkapan kedua itu, Sakera dihukum mati dengan cara digantung di dalam penjara. Lalu mayatnya dikubur di Bekacak, desa di bagian selatan di Kota Bangil. 

Dari cerita-cerita rakyat tersebut, carok yang dilakukan Sakera menjadi jalan bagi orang-orang Madura, untuk mempertahankan harga diri dari penindasan dan kesemena-menaan. Dan carok, cara untuk melindungi diri dari rasa malu yang tak terima atas perlakuan tak sopan orang lain terhadap isteri, maupun keluarganya.

Pemaknaan carok semakin luas sesuai dengan tafsir sosial masyarakat sampai kini. Namun dalam hukum positif di Indonesia, carok adalah kegiatan yang menghilangkan nyawa orang lain, atau pembunuhan, yang tetap dengan konsekuensi pemidanaan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement