REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan memanfaatkan kemajuan teknologi alat persenjataannya untuk meminimalkan risiko kematian bagi personel militer dalam operasi di Papua. Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengatakan, salah satunya dengan memanfaatkan drone, dalam melakukan patroli ataupun penetrasi pasukan ke wilayah rawan serangan separatisme.
Menurut Agus, dalam pembicaraannya dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, ada dibahas bersama soal situasi dan keamanan, serta operasi di Papua. Dari perbincangannya dengan Kapolri, sambung dia, perlunya pengembangan dalam dua pola pendekatan permasalahan di Papua.
"Tentang Papua, kita harus menggunakan smart power, yaitu dengan pendekatan soft power dan hard power sebagai jalan terakhir," ujar Agus di Jakarta, Selasa (5/12/2023). Soft power merupakan pendekatan defensif atau bertahan, tapi aktif dalam sosialisasi kemanusiaan, dan pembangunan di Papua.
Agus menjelaskan, dalam soft power itu juga ada pengerahan intelijen teritorial sebagai antisipasi situasi di Papua. Adapun hard power merupakan respons keras dengan menggunakan sarana persenjataan dalam menghadapi situasi penyerangan.
"Hard power itu sebagai jalan terakhir. Seperti sekarang kita sudah diserang-serang (oleh kelompok separatisme) menggunakan senjata," kata Agus.
Dalam dua pola tersebut, menurut Agus, perlu untuk pemanfaatan teknologi persenjataan yang dimiliki TNI-Polri. Di antaranya, dengan menggunakan pesawat tanpa awak untuk melakukan patroli maupun penetrasi situasi di Papua.
"Jadi untuk patroli itu, kita tidak lagi seperti dulu masuk ke pedalaman sampai 10, 20 kilometer dari titik terluar. Sekarang kita mulai menggunakan drone, kalau aman, baru kita (pasukan) masuk," ujar eks KSAD tersebut.
Dia menjelaskan, pemanfaatan drone tersebut untuk meminimalisasi risiko jatuhnya korban dari pihak TNI maupun Polri yang selama ini kerap menjadi sasaran penyerangan kelompok separatisme yang bersembunyi di pedalaman Papua. "TNI akan mengoptimalisasi penggunaan drone ini, dengan menjadikannya satuan-satuan khusus drone," kata Agus.
Selain untuk sistem persenjataan, sambung dia, pemanfaatan drone di Papua, juga bermanfaat untuk kegiatan lainnya. "Seperti untuk pencarian korban, maupun dalam penanganan-penanganan bencana alam," ucap Agus.
Terkait situasi keamanan di Papua, sejak 23 November 2023, kelompok separatisme Papua Merdeka mengeklaim, melakukan pembunuhan terhadap 13 prajurit TNI maupun Polri. Para prajurit yang gugur tersebut terjadi saat melakukan operasi, maupun saat melawan serangan kelompok separatisme bersenjata.
Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM) Sebby Sambom dalam pernyataan tertulisnya kepada wartawan, Jumat (1/12/2023) menyampaikan, kontak tembak kelompoknya dengan pasukan TNI terakhir kali terjadi di Distrik Paro, Nduga pada Kamis (30/11/2023).
Dalam kontak senjata tersebut dua personel TNI tewas. Kontak tembak terjadi di Intan Jaya pada 23 November 2023. Sayap bersenjata OPM itu, mengeklaim telah menewaskan satu anggota, dan melukai dua personel Polri.
Pada 24 November 2023, separatisme bersenjata itu juga baku tembak dengan pasukan TNI di Boega, dan mengeklaim menewaskan lima militer Indonesia. Pada 25 November 2023, Sebby mengeklaim, TPNPB membunuh delapan personel TNI dalam kontak tembak di Nduga.
Dan terakhir, pada 30 November 2023, dua kontak tembak senjata terpisah di Nduga, dan di Maybrat menewaskan tiga TNI. "Sudah 13 tentara Indonesia yang ditembak mati oleh pasukan TPNPB sejak Kamis 23 November 2023," kata Sebby.