REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto mempertanyakan keabsahan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto pada Pilpres 2024. Hal itu menyusul Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang menyatakan hakim konstitusi Anwar Usman terbukti melanggar etik berat.
Ketua Umum Jaringan Nasional Aktivis (Jarnas) 98, Sangap Surbakti menilai, pernyataan Hasto tersebut tak memiliki dasar. Bahkan, menurut Sangap, ucapan tersebut cenderung menghasut orang agar tak percaya terhadap MK. Padahal dalam perundang-undangan secara tegas mengatur putusan MK bersifat final dan mengikat.
"Selain Undang Undang MK mengaturnya, pakar-pakar hukum yang paten kali di Republik ini sudah menyampaikan pendapat, putusan MK tetap berlaku dan tak bisa dicabut sekalipun hakimnya terkena pelanggaran etik," kata Sangap dalam keterangan pers di Jakarta pada Sabtu (11/11/2023).
Sangap merasa heran dengan sikap PDIP yang seolah kebakaran jenggot dengan pencawapresan Gibran. Sangap menduga, PDIP khawatir suaranya tergerus di Pemilu 2024, akibat lompatnya Gibran menjadi pasangan Ketum DPP Gerindra Prabowo Subianto.
"Kenapa satu pemuda Gibran saja, sudah membuat mereka (PDIP) gaduh? atau jangan-jangan PDIP takut tidak lolos parliamentary threshold karena sejarahnya Gibran digaet jadi wali kota Solo memiliki elektabilitas tinggi," ujar Sangap.
Sebelumnya, Hasto menyatakan, apabila putusan MK terdahulu yang kemudian memuluskan Gibran maju sebagai cawapres menjadi permasalahan dan terbukti hakim Anwar Usman melanggar etik, maka putusan awal perlu dipertanyakan. Karena itu, ia mempertanyakan status Gibran dalam pencalonan di KPU.
"Bahkan terbukti adanya campur tangan dari luarnya, itu sama sekali tidak dibenarkan. Dan ini menyentuh persoalan terkait dengan bagaimana keabsahan dari pasangan Pak Prabowo dan Gibran," kata Hasto di Universitas Muhammadiyah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (9/11/2023).
MKMK memberhentikan Anwar Usman dari kursi Ketua MK karena dijatuhi sanksi berat. Hanya saja, putusan itu melahirkan dissenting opinion (DO), karena MKMK hanya mengubah status Anwar dari Ketua MK menjadi hakim MK biasa. Dalam DO-nya, anggota MKMK Bintan Saragih meminta Anwar Usman disanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Sanksi berat terhadap Anwar menyusul deretan pelaporan terhadap MK akibat MK yang memutus tujuh perkara uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Senin (16/10/2023).
Enam gugatan ditolak. Tapi MK memutuskan mengabulkan sebagian satu gugatan yang diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK dengan nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan yang pro pencalonan Gibran tetap diketok meski dihujani empat DO hakim MK dan dua alasan berbeda dari hakim MK.