Kamis 02 Nov 2023 14:36 WIB

Taufiq Ismail Bacakan Puisi Buatan 1989, Palestina Masih Belum Merdeka

Penyair Taufiq Ismail kembali membacakan puisi Palestina yang ditulisnya pada 1989.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Erik Purnama Putra
Penyair Taufiq Ismail.
Foto: Republika / Darmawan
Penyair Taufiq Ismail.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyair Taufiq Ismail kembali membacakan puisi Palestina yang ditulisnya pada 1989. Sayangnya, walau puisi itu sudah berusia 34 tahun, sampai saat ini kemerdekaan masih belum diraih rakyat Palestina.

Berikut isi puisi Palestina yang dibacakan Taufiq Ismail dalam Bulan Solidaritas Palestina yang digelar Aqsa Working Group dan Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (1/11/2023).

Ketika rumah-rumahmu diruntuhkan buldoser dengan suara gemuruh menderu. Serasa pasir dan batu bata dinding kamarku bertebaran di pekaranganku, meneteskan peluh merah dan mengepulkan debu yang berdarah.

Ketika luasan perkebunan jerukmu dan pepohonan apelmu dilipat-lipat sebesar saputangan, lalu di Tel Aviv dimasukkan dalam file lemari kantor agraria. Serasa kebun kelapa dan pohon manggaku di kawasan khatulistiwa yang dirampas mereka.

Ketika kiblat pertama mereka gerek dan keroaki bagai kelakuan reptilia bawah tanah dan sepatu-sepatu serdadu menginjaki tumpuan kening kita semua. Serasa runtuh lantai papan surau tempat aku waktu kecil belajar tajwid Alquran 40 tahun yang silam.

Di bawahnya ada kebun, ada kolam ikan yang air gunungnya bening kebiru-biruan, kini ditetesi air mataku. Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu.

Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu. Ketika anak-anak kecil di Gaza belasan tahun bilangan umur mereka menjawab laras baja dengan timpukan batu cuma, lalu dipatahi pergelangan tangan dan lengannya.

Siapakah yang tak menjerit serasa anak-anak kami Indonesia juga yang dizalimi mereka. Tapi, saksikan tulang mereka yang patah akan bertaut dan mengulurkan rantai amat panjangnya, membelit leher lawan mereka, menyeret tubuh si zalim ke neraka, An Naar.

Ketika kusimak puisi-puisi Fadwa Tuqan, Samir Al Qassem, Harun Hashim Rashid, Jabra Ibrahim Jabra, Nizar Qabbani dan seterusnya yang dibacakan di Pusat Kesenian Jakarta.

Jantung kami semua berdegup dua kali lebih gencar lalu tersayat oleh sembilu bambu deritamu. Darah kami memancar ke atas, lalu meneteskan guratan kaligrafi Allahu Akbar dan Bebaskan Palestina.

Ketika pabrik tak bernama, 1.000 ton sepekan memproduksi dusta, menebarkannya ke media cetak dan elektronika, mengoyaki tenda-tenda pengungsi di padang pasir belantara. Membangkangi resolusi-resolusi majelis terhormat di dunia, membantai di Shabra dan Shatila.

Mengintai Yasser Arafat dan semua pejuang negeri Anda, aku pun berseru pada khatib dan imam shalat Jumat sedunia. Doakan kolektif dengan kuat, seluruh dan setiap pejuang yang menapak jalan-Nya, yang ditembaki dan kini dalam penjara, lalu dengan kukuh kita bacalah laquwwatta illa billah.

Palestina, Palestina, bagaimana bisa aku melupakanmu. Tanahku jauh bila diukur kilometernya beribu-ribu. Tapi, tapi azan Masjidil Aqsha yang merdu serasa terdengar di telingaku.

"Ditulis tahun 1989. Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh," kata Taufiq Ismail, menutup.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement