REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata menegaskan, kerja pimpinan lembaga antirasuah menganut sistem kolektif kolegial. Sehingga menurut dia, jika ada satu pimpinan yang diduga menerima suap, maka tidak akan memengaruhi proses penyidikan suatu kasus.
Pernyataan ini Alex sampaikan usai diperiksa oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengenai dugaan pemerasan terhadap eks Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL). Dia juga diklarifikasi soal pertemuan Ketua KPK Firli Bahuri dengan SYL.
"Pimpinan itu kan lima (orang), kolektif kolegial. Kalau misalnya ada satu pimpinan yang mbalelo, yakinlah itu tidak akan menghentikan proses. Kan begitu," kata Alex di Gedung ACLC KPK, Jakarta Selatan, Senin (30/10/2023).
Alex menyebut, suap terhadap dua Pimpinan KPK juga tidak akan menghentikan pengusutan kasus korupsi. Dia justru berkelakar, jika ingin mempengaruhi sebuah kasus di KPK, maka harus menyuap kelima pimpinan.
"Dua pimpinan, itu juga tidak akan menghentikan proses. Masih ada tiga, kalau voting masih menang. Kan gitu. Jadi kalau ingin mempengaruhi perkara di KPK, suap yang lima pejabat atau paling enggak tiga lah, menang kan," ujar Alex.
Ia menjelaskan, mekanisme kolektif kolegial sengaja diterapkan di KPK agar menghindari adanya intervensi dalam penanganan perkara. Selain itu, juga dapat meminimalisasi kuasa terhadap satu orang.
"Kalau toh, ada intervensi, itu harus banyak pimpinan yang intervensi. Jauh lebih mudah kalau intervensinya ke penindakan, langsung," ujar Alex.
Disamping itu, Alex mengeklaim tak mengetahui adanya pertemuan Firli dengan SYL seperti dalam foto yang beredar ditengah masyarakat. Dia pun mengaku, koleganya tak pernah menceritakan hal ini.
"Ya, saya kalau ketemu siapa-siapa kan enggak harus sampaikan, pimpinan ketika pertemuan itu tidak membicarakan perkara. Kalau sekadar ngopi, ngobrol ngalur-ngidul, ngapain juga kami laporkan," tegas dia.