REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Abdul Muhari mengatakan, jebolnya bendungan raksasa Libya akibat Badai Daniel dapat dijadikan alarm atau peringatan bagi Indonesia. Pasalnya Indonesia juga memiliki bendungan, waduk, dam, dan embung di hampir seluruh provinsi.
Abdul dalam keterangannya disiarkan di Jakarta, Senin (2/10/2023) malam merujuk data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) per Mei 2023, jumlah bendungan di Indonesia ada sebanyak 235 unit, yang paling banyak terdapat di Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Bendungan itu selain dimanfaatkan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) juga berguna untuk mengairi sawah, air bersih, perikanan darat maupun objek wisata.
Dengan banyaknya keberadaan bendungan di Tanah Air maka seluruh pihak harus dapat menjaga agar manfaatnya dapat terus dirasakan masyarakat, terlepas pembangunan termasuk konstruksinya dipastikan telah dilaksanakan dan diperhitungkan secara matang oleh pihak-pihak dengan sangat profesional. "Untuk menjaga bendungan agar tetap dapat bermanfaat dan mengurangi risiko bencana, butuh sinergitas antara instansi terkait dan masyarakat dalam melakukan pemeliharaan," ujar Abdul.
Sinergi itu dapat dilakukan dengan cara terus menggalakkan reboisasi, tidak melakukan praktik deforestasi, dan tidak mendirikan bangunan di sepanjang bantaran Daerah Aliran Sungai (DAS). Bisa juga dengan tidak membuang sampah di sungai, lebih bijak dalam menggunakan air untuk kebutuhan sehari-hari, tidak mencemari lingkungan sungai, melakukan monitoring tanggul maupun sungai, bergotong royong membersihkan sungai, serta memantau secara berkala prakiraan cuaca dari instansi terkait.
Lebih dari 4.200 jiwa bukan angka yang sedikit dalam hasil penghitungan kaji cepat sementara jumlah korban meninggal dunia dalam peristiwa jebolnya dua bendungan di Derna, Libya. Otoritas setempat bahkan memperkirakan angka tersebut masih sangat berpotensi merangkak naik, sebab masih ada ribuan warga yang hilang. Banjir dahsyat itu juga menyapu permukiman hingga mengakibatkan 43 ribu lebih jiwa kehilangan tempat tinggalnya.
Menurut otoritas setempat, Badai Daniel dikatakan sebagai biang kerok yang memicu terjadinya bencana dahsyat itu. Sebelumnya, badai dengan kecepatan angin 70-80 kilometer per jam disertai hujan dengan intensitas 150-240 milimeter itu juga menghantam Pantai Mediterania.
Tim pencarian dan pertolongan korban harus bekerja non-stop untuk mengevakuasi para korban termasuk penyelamatan. Bahkan, dalam sehari tim SAR mampu menemukan sebanyak 245 korban meninggal dunia. Pihak berwenang Libya kemudian mendeklarasikan status darurat ekstrem, menghentikan aktivitas masyarakat seperti sekolah, perdagangan, dan memberlakukan jam malam demi alasan keamanan.