REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan akan merevisi pasal terkait cara penghitungan kuota minimal 30 persen calon anggota legislatif (caleg) perempuan. Hal ini sebagai tindaklanjut atas putusan terbaru Mahkamah Agung (MA). Revisi ini diakui bisa berdampak terhadap nama-nama bakal caleg yang sudah masuk Daftar Calon Sementara (DCS).
Komisioner KPU Mochammad Afifuddin menjelaskan, pihaknya akan merevisi ketentuan penghitungan kuota caleg perempuan itu yang diatur dalam Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD. "Iya (kita revisi) menyesuaikan dengan putusan MA," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (31/8/2023).
Afif mengatakan, proses revisi akan dimulai setelah pihaknya mendapatkan salinan putusan MA tersebut. Proses revisi dipastikan tuntas sebelum penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) pada 3 November 2023.
Sebagai catatan, putusan MA menganulir cara penghitungan kuota minimal caleg perempuan menggunakan pendekatan pembulatan ke bawah. MA menyatakan, cara penghitungan yang sah adalah menggunakan pendekatan pembulatan ke atas.
Afif mengakui, berubahnya cara penghitungan kuota caleg perempuan ini bisa berdampak terhadap Daftar Calon Sementara (DCS) yang sudah kadung ditetapkan. "Kemungkinan (DCS akan berubah). Situasinya kan kita patuhi, kita taati putusan MA," kata Koordinator Divisi Hukum KPU itu.
Pernyataan Afif itu bertolak belakang dengan Ketua KPU Hasyim Asy'ari. Hasyim pada Selasa (29/8/2023) menyatakan, 9.919 nama bakal caleg DPR dalam DCS tidak perlu diganti alias diutak-atik. Sebab, menurut dia, jumlah bakal caleg perempuan di daftar calon partai politik untuk setiap daerah pemilihan (dapil) sudah melampaui persentase 30 persen.
"Sesungguhnya kalau kita cek satu per satu, masing-masing partai politik per dapil, keterwakilan perempuan yang diusulkan itu sudah mencukupi, melampaui 30 persen. Itu sudah KPU umumkan dalam DCS, bisa kita cek masing-masing," kata Hasyim.
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), sebuah organisasi pemantau pemilu terakreditasi di Bawaslu RI, sudah mengecek dan hasilnya berbeda dengan klaim Hasyim. Manajer Pemantauan Sekretariat Nasional JPPR, Aji Pangestu mengatakan, semua (18) partai politik peserta Pemilu 2024 tidak memenuhi ketentuan minimal 30 persen caleg DPR perempuan di beberapa dapil.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), misalnya, jumlah bakal caleg perempuannya tidak mencapai 30 persen di 31 dapil. PDIP tak mencapai 30 persen di 24 dapil dan Partai Gerindra 23 dapil.
Secara keseluruhan, kata Aji, 18 partai politik tidak memenuhi kuota 30 persen caleg perempuan di 268 dapil. Artinya, apabila KPU mematuhi putusan MA, maka akan ada sekitar 268 bakal caleg DPR laki-laki yang harus diganti dengan perempuan-perempuan guna memenuhi kuota 30 persen.
Sementara itu, Dosen hukum pemilu di Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini meminta KPU RI dan partai politik segera memenuhi kuota minimal 30 persen bakal calon anggota legislatif (caleg) perempuan. Titi merupakan salah satu pihak yang mengajukan permohonan uji materi ke MA.
Titi menegaskan, KPU dan parpol tidak bisa menghindar dari putusan tersebut dengan alasan Daftar Calon Sementara (DCS) sudah terlanjur ditetapkan. Sebab, DCS jelas masih bisa dirombak karena Daftar Calon Tetap (DCT) baru akan ditetapkan pada 3 November 2023.
"Pengajuan penggantian calon sementara sedang berlangsung saat ini. Sehingga dari sisi waktu tidak ada alasan untuk mengelak dari pelaksaan Putusan MA ini," kata Titi kepada wartawan, Kamis (31/8/2023).
Sebelumnya, Mahkamah Agung pada Selasa (29/8/2023), mengabulkan permohonan uji materiil atas regulasi KPU yang mengatur cara penghitungan kuota minimal 30 persen caleg perempuan Pemilu 2024. Putusan atas perkara nomor 24 P/HUM/2024 itu diketok palu oleh ketua majelis hakim, Irfan Fachruddin bersama dua anggota majelis hakim, Cerah Bangun dan Yodi Martono.
Termohon dalam perkara ini adalah Ketua KPU. Adapun pemohon adalah Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang diwakili oleh Perludem, Koalisi Perempuan Indonesia, eks komisioner KPU RI Hadar Nafis Gumay, dosen hukum pemilu Universitas Indonesia Titi Anggraini, dan eks komisioner Bawaslu RI Wahidah Suaib.
Dalam permohonannya, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan meminta agar Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD dinyatakan bertentangan dengan Pasal 245 UU Pemilu dan UU Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
Pasal 245 UU Pemilu mengatur bahwa bakal caleg yang diajukan partai politik untuk setiap daerah pemilihan (dapil) harus memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
Adapun Pasal 8 Ayat 2 PKPU 10/2023 mengatur cara menghitung kuota minimal 30 persen caleg perempuan itu, yakni apabila hasil penghitungan menghasilkan angka di belakang koma tak mencapai 5, maka dilakukan pembulatan ke bawah. Problemnya, pendekatan pembulatan ke bawah itu membuat jumlah bakal caleg perempuan tidak mencapai 30 persen per partai di setiap dapil sebagaimana diamanatkan UU Pemilu.
Sebagai contoh, partai politik mengusung 8 caleg di suatu dapil. Apabila dihitung murni, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4 orang. Lantaran angka di belakang koma tak mencapai 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Dengan demikian, partai politik cukup mengusung 2 caleg perempuan saja dari total 8 caleg. Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen, bukan 30 persen.
Dengan dikabulkannya gugatan ini, berarti petitum penggugat menjadi norma yang berlaku, yakni cara penghitungan kuota 30 caleg perempuan harus menggunakan pendekatan pembulatan ke atas. Di dapil dengan 8 caleg, misalnya, parpol minimal harus mengusung 3 caleg perempuan.