REPUBLIKA.CO.ID, WONOGIRI--Sejak 2019 warga Desa Gendayakan, Paranggupito, Wonogiri sudah bergelut dengan kemarau untuk menyediakan air bersih. Namun, sejak 22 Agustus tahun ini akhirnya instalasi mesin yang dibuat melalui kerja persaudaraan mampu menyediakan air bersih untuk 11 desa.
Setidaknya ada 2.071 jiwa yang ikut menikmati hal tersebut. Kepala Desa Gendayakan Heri Sutopo mengatakan empat tahun silam masalah kekurangan air adalah hal yang dialami setiap tahun ketika memasuki musim kemarau.
Secara geografis, desa Gendayakan didominasi batuan karst atau gamping dan vegetasi berakar dangkal. Kondiri itu membuat air tak bisa tersimpan di dalam tanah dan membuat warga tak dapat menggali sumur untuk air bersih.
"Kondisi kekeringan ini sudah terjadi sejak saya kecil. Untuk mendapatkan air bersih warga hanya punya dua pilihan. Membuat penampungan air saat hujan atau saat musim kemarau panjang, warga harus memanggul air sambil berjalan kaki sekitar empat jam pulang pergi ke Pacitan, Jawa Timur untuk mengambil 25 liter air bersih," kata Heri, Selasa (22/8/2023).
Memasuki musim kemarau warga harus memutar otak, khusus mereka yang berprofesi sebagai petani dan peternak. Sebab, panen dan ternak mereka tergantung akan kebutuhan air bersih.
Pilihan lainnya, air bersih bisa didapat melalui penyedia jasa. Namun, jumlah yang dikeluarkan cukup menguras saku karena per 5 ribu liter dibandrol seharga 150 ribu. Apalagi harga tersebut cenderung naik jika memasuki musim kemarau.
“Lebih dari 80 persen warga kami menggantungkan hidup dari bertani, kalau gagal panen karena tidak ada air, otomatis mereka tidak memiliki penghasilan. Ada juga warga yang terpaksa menukarkan ternak peliharaan mereka seperti sapi demi mendapatkan air bersih, sehingga dengan kondisi seperti itu, secara perlahan kesejahteraan warga menurun,” katanya.
Tak menyerah, para warga akhirnya menemukan titik cerah. Pada 2018 mereka menemukan Luweng atau sumur dalam yang berisi air. Namun, untuk mengangkat air diperlukan biaya yang tidak sedikit.
"Akhirnya pada 2018 kami ketemu air. Tapi, kami bingung bagaimana mengangkat air. Karena biayanya tidak sedikit. Pastinya ini butuh biaya yang besar karena harus menaikkan air dari kedalaman 180 meter. Kami menemukan 11 luweng. Namun, hanya ada satu luweng bernama Goa Jomblang yang tidak bisa dimasuki," katanya.
Setelah itu, di tahun 2019 dengan adanya dana dari Djarum Foundation tiga kelompok warga mulai membuat instalasi pengangkatan air dari kedalaman 180 meter. Kelompok tersebut diantaranya Warga Gendayakan, Kelompok Mahasiswa Pecinta Alam GAPADRI dari Institut Teknologi Nasional Yogyakarta (ITNY), Padasuka (Padepokan Dakwah Sunan Kalijaga).
Enam bulan berselang, instalasi tersebut berhasil dibuat meskipun sempat terkendala akibat tanah longsor. Namun, di tahun ini dengan diperkuatnya instalasi tersebut dapat mengoptimalkan pendistribusian air.
“Jika diukur, kedalaman goa melebihi tingginya Monas. Tidak mudah mengangkat air dengan kedalaman seperti itu. Dibutuhkan instalasi pompa dan pipa yang kuat untuk mengangkat air ke atas. Di sinilah Djarum Foundation melalui program Djarum Sumbangsih Sosial hadir untuk mendukung pengangkatan air dan pendistribusiannya sehingga dapat dinikmati oleh warga desa,” kata Deputy Program Director Bakti Sosial Djarum Foundation Achmad Budiharto.
Sementara itu, Tugiyo (55 tahun) warga Desa Gendayakan sangat bersyukur atas asa bersama untuk penyediaan air bersih tersebut. Ia berharap agar kedepannya instalasi tak hanya mampu memenuhi kebutuhan harian namun juga kesejahteraan warga desa.
"Kami ucapkan syukur dan terima kasih atas kerja kolaboratif berbagai institusi yang berupaya menghadirkan air bersih ke rumah-rumah warga. Saya yakin air dari Goa Jomblang tersebut tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar kami terhadap air, tapi juga mampu mengangkat kesejahteraan hidup kami," katanya.