REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Sekretaris ITB Widjaja Markusumo menegaskan, adanya pembatasan waktu shalat selama pelaksanaan penerimaan mahasiswa baru (PMB) sepenuhnya disebabkan kesalahan teknis dan kurangnya alokasi waktu. Dia mengaku, PKM tahun ini merupakan yang pertama setelah tiga tahun ditiadakan akibat pandemi Covid-19, sehingga panitia masih kesulitan untuk mengatur waktu dan mobilitas sekitar 5.000 mahasiswa baru.
"Sebenarnya kami sudah mengalokasikan waktu sedemikian rupa untuk shalat, tapi memang di hari pertama, waktunya tidak cukup untuk memobilisasi 5.000 orang dari lapangan ke masjid, maka tidak cukup waktunya," tuturnya kepada awak media dalam konferensi pers yang dilaksanakan di Gedung Rektorat ITB Bandung, Selasa (22/8/2023).
"Jadi murni ini karena kesalahan teknis, kurang alokasi waktu saja," tegas Widjaja.
Dia menyebut, keterbatasan waktu shalat hanya terjadi di hari pertama dari empat hari pelaksanaan kegiatan Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa (OSKM). Widjaja juga menegaskan kurang tepatnya pembagian waktu disebabkan banyaknya jumlah mahasiswa baru dan kurangnya pengalaman panitia. Namun dia kembali menegaskan sejak hari pertama, panitia PMB sudah mengalokasikan waktu shalat, namun memang tidak selama durasi shalat pada hari kedua dan seterusnya.
"Awalnya (waktu shalat yang panjang) itu dianggap akan memakan waktu, tapi kami menyadari perlu adanya perbaikan, oleh karena itu malamnya kita evaluasi, lalu paginya (di hari kedua OSKM) kita merevisi rundown sehingga memungkinkan waktu yang lebih lama untuk melaksanakan shalat," jelasnya.
"Setelah merevisi rundown itu juga, agenda di hari kedua hingga seterusnya berjalan lancar dan mahasiswa muslim bisa memiliki waktu yang cukup untuk sholat," tutur Widjaja menambahkan.
Dia mengatakan, hal ini telah menjadi sumber pembelajaran bagi panitia PMB maupun pihak ITB secara umum. Widjaja juga menegaskan, kabar bahwa ITB tidak menyediakan waktu untuk beribadah sepenuhnya tidak benar.
"Artinya memang tidak benar bahwa tidak disediakan waktu untuk beribadah. Yang terjadi memang di hari pertama, waktunya tidak cukup untuk memobilisasi 5.000 orang dari lapangan ke masjid, dan itu sudah menjadi pembelajaran untuk rundown di hari berikutnya," tegasnya
Selain keterbatasan waktu shalat, pelaksanaan PMB ITB juga menoreh kritik karena diduga mengkampanyekan unsur LGBT kepada mahasiswa baru. Sebagai respons, jajaran Institut Teknologi Bandung (ITB) menegaskan, lembaran kuesioner yang santer diperbincangkan di jagat maya karena diduga mengandung nilai-nilai LGBT, bukan dibuat oleh pihak ITB melainkan oleh pihak ketiga.
Pihak ketiga merupakan mitra dalam pelaksanaan kegiatan sosialisasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang digelar ITB dalam kegiatan Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB). "Form kuesioner itu benar dari pihak ketiga atau mitra, artinya bukan dari ITB," tegas Direktur Kemahasiswaan ITB Dr Prasetyo G Adhitama dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Rektorat ITB Bandung, Selasa (22/8/2023).
Prasetyo menyebut, ITB dalam hal ini Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) sejatinya telah membuat kuesioner resmi yang disebarkan secara masif kepada seluruh mahasiswa baru. Dia juga mengaku tidak mengetahui adanya kuesioner tambahan, yang saat ini menimbulkan kegaduhan karena mengandung unsur LGBT.
"Kami sebenarnya sudah memiliki kuesioner sendiri dan kami merujuk pada peraturan Kemendikbud," tuturnya.
"Jadi kita sendiri juga tidak tahu bagaimana angket itu (mengandung unsur LGBT) bisa tersebar, karena di acara juga tidak ada info penyebaran angket selain angket yang dibuat oleh satgas PPKS," tegas Prasetyo menambahkan.
Ralat berita:
Republika.co.id pada Jumat (25/8/2023) mengoreksi berita ini, karena ada penyebutan nama perusahaan pihak ketiga yang tidak tepat, sebagai pihak pembuat survei.