Kamis 17 Aug 2023 16:54 WIB

Bawaslu: Pihak Menghalangi Pemilu Bisa Dipidana 3 Tahun Penjara

Bawaslu memastikan pihak yang menghalangi jalannya pemilu bisa dipidana 3 tahun.

Suasana pencoblosan saat pemilu di TPS (Ilustrasi). Bawaslu memastikan pihak yang menghalangi jalannya pemilu bisa dipidana 3 tahun.
Foto: Republika TV
Suasana pencoblosan saat pemilu di TPS (Ilustrasi). Bawaslu memastikan pihak yang menghalangi jalannya pemilu bisa dipidana 3 tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Maluku  menegaskan warga yang menghalang-halangi Pemilu bisa ditindak dengan ancaman tiga tahun penjara karena hal tersebut masuk perbuatan  pidana dan  pelanggaran hukum.

“Jika sampai ada ancaman untuk membatalkan Pemilu, ingat ada juga ancaman pidana bagi orang yang menghalang-halangi Pemilu. Jadi, jangan main-main dengan itu,” kata Ketua Bawaslu Maluku Subair di Ambon, Kamis (17/8/2023).

Baca Juga

Hal ini disampaikan merespons masyarakat Negeri Kataloka, Kecamatan Pulau Gorom, Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), Maluku, yang mengancam akan membatalkan Pemilu 2024 di desa setempat karena banyak warga tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT). 

Ia menyampaikan pengaturan tindak pidana pemilu diatur dalam pasal 488 sampai pasal 544 di dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Pada UU tersebut dinyatakan setiap orang yang dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan, atau dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilu dipidana penjara paling lama  tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta. 

“Makanya saya harap, ini tidak menjadi masalah yang dibesar-besarkan. Ini  sebenarnya hanya sekadar ungkapan perasaan kecewa saja. Kalau tidak mau datang mencoblos kan tidak ada larangan, tidak ada pidana. Tapi, kalau menghalangi misalnya melarang orang datang untuk memilih, membuat masalah di lokasi TPS itu masuk pelanggaran,” katanya menerangkan. 

Subair mengaku, telah minta kepada pengawas kecamatan untuk mencari data tentang masalah yang terjadi di Negeri Kataloka dan jika memang betul tuduhan bahwa ada manipulasi data, maka akan ditindak sebagai pelanggaran.

"Bawaslu juga belum bisa memvonis ini kesalahan siapa. Jadi masih perlu melakukan penelusuran dan pengkajian, baru bisa diambil kesimpulan," kata dia.

Terkait DPT, semuanya sudah diumumkan oleh KPU melalui beberapa tahapan, mulai dari penetapan Daftar Pemilih Sementara (DPS), DPS Hasil Perbaikan (DPSHP) hingga ditetapkan jadi DPT.

Bahkan, setiap hasil pleno penetapan, baik DPS maupun DPSHP itu selalu ditempel oleh penyelenggara di tingkat desa, dan itu diawasi oleh pengawas desa dan kecamatan.

"Jadi, saya ingin mengatakan bahwa jika proses itu dilewati maka menurut saya ada yang salah ketika masyarakat protes," ujarnya.

Ia juga menjelaskan, kalaupun masyarakat tidak terdaftar di DPT, bukan berarti mereka tidak bisa menggunakan hak pilihnya. "Mereka tetap bisa menggunakan hak pilih dengan dimasukan ke Daftar Pemilih Khusus (DPK)," ungkap Subair.

DPK adalah mereka yang memiliki identitas kependudukan tetapi belum terdaftar dalam DPT. Mereka bisa menggunakan hak pilihnya dengan menunjukkan KTP dan terdaftar di TPS sesuai dengan alamat yang tertera di KTP masing-masing.

Bawaslu sendiri sedang mengumpulkan data masyarakat yang belum terdata untuk dimasukan ke DPK. Dan masyarakat Kataloka bisa memilih dengan menunjukkan KTP atau boleh dengan KK pada hari pencoblosan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement