REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kualitas polusi udara di DKI Jakarta masuk dalam kategori tidak sehat. Penjabat (Pj) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono pun menanggapi hal tersebut.
"Pemprov DKI sudah memberikan dan maksimal, kami setiap hari Jumat itu para wali kota menanam pohon, begitu juga saya setiap Selasa dan Jumat kalau ada waktu pasti menanam pohon," kata Heru dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 secara daring dikutip pada Rabu (9/8/2023).
Selain itu, ia juga berupaya menambah kendaraan bus listrik untuk mengatasi kualitas udara yang buruk di DKI Jakarta. Ia juga menyarankan warga Jakarta dan warga yang tinggal di daerah penyangga menggunakan transportasi publik untuk mengurangi jumlah kendaraan pribadi di jalan.
"Ya kendaraan dinas Pemprov DKI sudah beralih ke kendaraan listrik secara bertahap. Warga juga gunakan transportasi massal yang dibangun Pemprov DKI dan Pemerintah Pusat. Itu dapat digunakan, sehingga bisa mengurangi kemacetan dan polusi udara di Jakarta," kata dia.
Ia menambahkan selama 1,5 tahun terakhir, jumlah kendaraan roda empat meningkat dari 4 juta menjadi 6 juta. Sementara kendaraan roda dua meningkat dari 14 juta menjadi 16 juta.
"Yang berplat B, itu kan Jabotabek dan hampir semuanya itu masuk ke Jakarta. Jadi memang beban Jakarta berat, tapi tidak mengurangi tanggung jawab Pemprov DKI Jakarta," kata dia.
Sebelumnya diketahui, semakin banyak pihak yang gerah dengan kondisi polusi udara di Jakarta yang kian parah. Para figur publik, mulai dari kalangan musisi, penyanyi, komedian, hingga chef ramai-ramai bersuara di media sosial (medsos) agar pemerintah meningkatkan perhatian terkait persoalan serius itu.
Berdasarkan situs pemantau kualitas udara IQAir pada Selasa (8/8/2023), kualitas udara di Jakarta dikategorikan tidak sehat. Indeks kualitas udara (AQI) Jakarta berada di angka 164, dengan konsentrasi partikulat (PM2.5) 80 mikrogram per meter kubik atau 16 kali lipat dari standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
PM2.5 merupakan partikel yang ditemukan di udara, termasuk debu, jelaga, kotoran, asap, dan tetesan cairan. Partikel berukuran diameter 2,5 mikron atau kurang itu dianggap sebagai ancaman kesehatan terbesar. Karena ukurannya yang kecil, PM2.5 dapat tetap melayang di udara untuk waktu yang lama.
Ukuran mikroskopis PM 2.5 meningkatkan potensinya untuk bersarang jauh ke dalam saluran pernapasan, juga mampu memasuki sistem peredaran darah, bahkan otak. Gejala jangka pendek dari paparan partikulat tingkat tinggi termasuk iritasi tenggorokan dan saluran pernapasan, batuk, dan kesulitan bernapas.
Haura Hafizhah