REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tak ada lagi upaya hukum lanjutan yang dapat dilakukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai perlawanan terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) untuk empat terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J). Kejaksaan menilai, putusan MA terhadap terdakwa Ferdy Sambo (FS), Ricky Rizal (RR), Kuat Maruf (KM), dan Putri Candrawathi (PC) itu sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana menjelaskan, tertutupnya upaya peninjauan kembali (PK) oleh JPU merupakan konsekuensi hukum dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 20/PUU-XXI/2023. Putusan MK tersebut menganulir kewenangan kejaksaan dalam mengajukan PK seperti dalam Pasal 30 C huruf h.
“Sehingga menggugurkan kewenangan JPU dalam mengajukan PK terhadap putusan pengadilan pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkrah,” kata Ketut.
“Dan PK, hanya bisa diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya,” sambug Ketut.
Soal PK tersebut, pun Ketut menerangkan, ada dalam pengaturan Pasal 263 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 263 ayat (1) KUHAP menebalkan hak mengajukan PK hanya milik terpidana, atau ahliwarisnya. “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah, kecuali putusan bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana, atau ahli warisnya, dapat mengajukan permintana PK kepada MA,” kata Ketut mengutip aturan tersebut.
Atas dua acuan hukum tersebut, kejaksaan, menurut Ketut, sementara ini, tak lagi punya pintu untuk upaya hukum luar biasa dalam memberikan perlawanan atas kasasi MA. Namun begitu, Ketut mengatakan, Kejagung menghormati putusan kasasi.
Meskipun majelis hakim agung mengorting banyak hukuman terhadap terdakwa Ferdy Sambo, Ricky Rizal, Kuat Maruf, dan juga Putri Candrawathi, menurut Ketut, dalam putusan kasasi tersebut, MA tetap mempertahankan fakta hukum dari JPU terkait dengan pembuktian terhadap para terdakwa. Terutama kata Ketut, pembuktian dakwaan primer Pasal 340 KUH Pidana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Yaitu menyangkut soal pembunuhan berencana yang dilakukan bersama-sama.
Menurut Ketut, pembuktian JPU tentang sangkaan pembunuhan berencana yang dilakukan bersama-sama oleh para terdakwa itu, tetap diyakini oleh hakim agung sebagai dasar dalam putusan kasasi. Meskipun, hasil kasasinya, dengan pengubahan kualifikasi, dan lamanya pemidanaan terhadap masing-masing terdakwa.
“Bahwa seluruh fakta-fakta hukum dan pertimbangan hukum yang disampaikan dalam surat dakwaan, dan surat tuntutan JPU terhadap para terdakwa, tetap diakomodir dalam putusan kasasi MA,” ujar Ketut.
Mengacu putusan kasasi MA, Selasa (8/8/2023), majelis hakim agung mengorting banyak hukuman terhadap empat terdakwa pembunuhan berencana Brigadir J. MA mengubah hukuman mati terhadap Ferdy Sambo menjadi penjara seumur hidup.
Hukuman seumur hidup terhadap mantan Kadiv Propam Polri tersebut, sebetulnya sudah sesuai dengan tuntutan JPU dari persidangan pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). MA juga mengurangi hukuman terdakwa Ricky Rizal menjadi 8 tahun penjara dari semula selama 13 tahun.
Terhadap terdakwa Kuat Maruf, kasasi MA mengubah hukumannya menjadi hanya 10 tahun dari semula 15 tahun. Paling banyak diskon hukumannya terhadap terdakwa Putri Candrawathi.
MA dalam kasasinya mengubah hukuman terhadap istri dari Ferdy Sambo itu menjadi 10 tahun penjara. Padahal dari peradilan tingkat pertama di PN Jaksel dan banding di Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta, Putri Candrawathi yang terbukti di persidangan sebagai pemicu terjadinya pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, dipidana 20 tahun penjara.
Kepala Biro Humas MA Sobandi menjelaskan, putusan kasasi tersebut tidak bulat. Karena dari lima pengadil agung ada dua hakim yang berbeda pendapat atau dissenting opinion.
“P1 dan P3 dissenting opinion atau DO,” kata Sobandi.
Lima hakim agung pemutus kasasi tersebut, adalah Hakim Suhadi selaku ketua majelis kasasi, dan empat anggota lainnya, Hakim Suharto, Hakim Jupriyadi Hakim Desnayeti, dan Hakim Yohanes Priyatna.