Selasa 08 Aug 2023 10:46 WIB

Amnesty: Kekerasan Polisi di Masjid Sumbar Bentuk Pengabaian Hak Sipil

Amnesty International Indonesia sebut aksi polisi di Masjid Sumbar abaikan hak sipil.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid. Amnesty International Indonesia sebut aksi polisi di Masjid Sumbar abaikan hak sipil.
Foto: Dokumentasi Pribadi
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid. Amnesty International Indonesia sebut aksi polisi di Masjid Sumbar abaikan hak sipil.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyayangkan sikap represif aparat keamanan terhadap protes damai warga Nagari Air Bangis, Sumatera Barat. Usman menggolongkan tindakan itu sebagai pengabaian atas hak sipil. 

Sekitar 1.000 warga Nagari Air Bangis melakukan aksi damai menolak rencana pembangunan proyek strategis nasional di wilayah mereka di depan Kantor Gubernur Sumatera Barat, Padang. Mereka beralasan, proyek itu mengancam mata pencaharian dan hak-hak mereka atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. 

Baca Juga

"Ada pengabaian terang-terangan terhadap hak dan kebebasan sipil. Kekhawatiran warga Nagari Air Bangis tentang dampak proyek itu terhadap keberlangsungan hidup mereka sah dan harus didengar oleh negara, bukan malah direpresi. Tanpa persetujuan mereka, proyek itu tidak boleh dipaksakan," kata Usman dalam keterangannya pada Selasa (8/8/2023). 

Akibat protes enam hari itu, aparat keamanan memulangkan secara paksa warga Air Bangis dan menangkap 18 orang, yang terdiri atas tokoh masyarakat, mahasiswa, dan advokat ataupun pendamping masyarakat. 

"Mereka datang dan tinggal berhari-hari untuk melaksanakan hak-hak konstitusional mereka dan mempertahankan ruang hidup mereka. Respons negara, baik polisi dan Gubernur, justru berlebihan dan terkesan memaksakan Proyek Strategis Nasional," ucap Usman. 

Oleh karena itu, Usman mengingatkan pemerintah mesti memperhatikan masalah ini. Sebab ini bukan pertama kalinya proyek strategis nasional mengundang polemik. Hal serupa terjadi di Desa Wadas, Jawa Tengah. 

"Rencana proyek strategis nasional di Nagari Air Bangis, Sumatera Barat, harus dievaluasi karena menimbulkan korban dan mengancam hak-hak asasi manusia, termasuk hak-hak sipil, politik, bahkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat lokal," ujar Usman. 

Usman menyebut studi sebelumnya dari organisasi-organisasi sipil seperti LBH Padang dan Walhi menunjukkan proyek tersebut berdampak negatif terhadap lingkungan hidup. Organisasi sipil menyinggung terganggunya hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, dan juga berpotensi menimbulkan konflik baru di Sumatera Barat. 

"Jangan sampai negara mengulangi kesalahan proyek-proyek strategis nasional sebelumnya, yang mematikan lahan penghidupan masyarakat dan merusak lingkungan," ucap Usman.

Dari catatan Amnesty, pada 31 Juli 2023 sekitar 1.000 warga Nagari Air Bangis dan mahasiswa menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumbar menolak usulan proyek strategis nasional (PSN) kilang minyak dan petrokimia oleh Pemprov Sumbar ke pemerintah pusat dengan luas konsesi 30.000 hektar, karena menyerobot lahan yang dikelola warga.

Massa juga menuntut agar lahan yang mereka kelola secara turun-temurun dikeluarkan dari status hutan produksi. Mereka menuntut pula agar anggota Brimob yang menjaga lahan program hutan tanaman rakyat (HTR) yang dikelola koperasi serba usaha di kawasan itu ditarik. Lokasi HTR juga dipandang tumpang tindih dengan lahan masyarakat.

Gubernur Sumbar hanya tampak sekali secara tak terduga datang ke Masjid Raya Sumbar untuk salat subuh pada Kamis 3 Agustus 2023. Sikap Gubernur Sumbar itu tidak cukup memuaskan warga Air Bangis yang merasa aspirasi mereka belum tersampaikan dengan melanjutkan aksi damai dan menginap di Masjid Raya Sumbar. Sedangkan pejabat Pemprov Sumbar mengklaim mediasi “sudah dilakukan”.

Pada Sabtu 5 Agustus warga yang bertahan di Masjid Raya Sumbar dipulangkan secara paksa oleh aparat sehingga berlangsung kericuhan. Sebanyak 18 orang ditangkap, yang terdiri dari enam orang masyarakat, empat mahasiswa, dan delapan aktivis atau pendamping hukum dari LBH Padang (7) dan PBHI (1).

Pada 6 Agustus, sumber kredibel Amnesty International Indonesia menyebut mereka telah dilepaskan dari Polda Sumbar, namun warga "dipaksa" pulang ke kampung dan dikawal untuk pulang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement