REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Lokataru Haris Azhar mempertanyakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang tidak menunjukkan barang bukti di persidangan. Haris merasa tindakan tersebut tergolong janggal.
Hal itu diungkapkan Haris setelah menghadiri sidang kasus pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan yang menjeratnya di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Senin (24/7/2023). Kasus ini turut membuat Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanty duduk di kursi terdakwa.
"Tanggapannya atas sidang hari ini ternyata tidak ada bukti digital yang bisa disampaikan di persidangan ini," kata Haris kepada awak media.
Haris menyampaikan sudah meminta agar barang bukti dibuka di dalam sidang. Tapi JPU, ahli hingga Majelis Hakim tak memfasilitasinya. Bahkan, Majelis Hakim terkesan menuruti kubu JPU dan ahli yang beralasan barang bukti tak bisa dibuka karena tak ada alatnya.
"Tadi kita minta flashdisknya (berisi file video barang bukti) dibuka, ternyata nggak bisa dibuka," ujar Haris.
Padahal Haris menegaskan barang bukti tersebut merupakan kunci masalah pencemaran nama baik. Haris merasa heran ketika barang bukti yang sifatnya digital malah urung ditampilkan.
"Itu adalah titik utama kasus ini. Kasus ini kan menggunakan pasal 27 ayat 3 ya, tuduhan pencemaran nama baik, penghinaan, keonaran, semua rujukannya ke digital. Sementara bahan digitalnya tidak bisa dibuka," ucap Haris.
Haris mengingatkan perkara pidana wajib menyertakan barang bukti. "Barang bukti digitalnya tidak bisa dibuka atau tidak mau dibuka," ujar Haris.
Atas dasar itulah, Haris meyakini perkara yang menjeratnya mesti ditarik. Sebab pihak JPU gagal menampilkan barang bukti yang jadi sumber masalah.
"Menurut saya, seharusnya pakai alat pikir atau ilmu logika yang sangat relevan digunakan dalam kasus-kasus pidana, saya pikir kasus ini selesai, nggak ada alat buktinya," ucap Haris.
Dalam sidang hari ini, ahli digital forensik dari Puslabfor Mabes Polri Herry Priyanto memang menolak menunjukkan barang bukti konten video yang dijadikan bahan analisisnya dalam kasus pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan. Herry beralasan tak membawa peralatan guna menunjukkannya.
Herry berkelit bahwa untuk menunjukkan file secara langsung tak bisa dilakukan tanpa alat yang digunakan Puslabfor. "Jika nanti kita mengganggu barang bukti ketika kita melakukan uji yang mulia kita tidak akan menguji langsung ke flashdisk-nya yang mulia itu adalah tahapan SOP. Mungkin jika ada peralatan tapi saya tidak membawa untuk memastikan bahwa ketika mencolok itu terproteksi secara USB write locker itu prinsip utama digital forensik," ucap Herry.
Sebelumnya, Haris dan Fatia didakwa mengelabui masyarakat dalam mencemarkan nama baik Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan. Hal itu disampaikan tim JPU yang dipimpin oleh Yanuar Adi Nugroho saat membacakan surat dakwaan.
Dalam surat dakwaan JPU menyebutkan anak usaha PT Toba Sejahtera yaitu PT Tobacom Del Mandiri pernah melakukan kerja sama dengan PT Madinah Quarrata’ain, tapi tidak dilanjutkan. PT Madinah Quarrata’ai disebut Haris-Fatia sebagai salah satu perusahaan di Intan Jaya yang diduga terlibat dalam bisnis tambang.
Dalam kasus ini, Haris Azhar didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 UU ITE dan Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 KUHP.
Sedangkan Fatia didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang ITE, Pasal 14 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Pasal 310 KUHP tentang penghinaan.
Kasus ini bermula dari percakapan antara Haris dan Fatia dalam video berjudul "Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-OPS Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!! NgeHAMtam" yang diunggah di kanal YouTube Haris Azhar.