REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Buruh akan segera mengajukan gugatan uji materi atas pasal terkait ambang batas pencalonan presiden alias presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK). Meski gugatan serupa sudah 30 kali kandas, Partai Buruh percaya diri bakal menang karena sudah menemukan celah dalam putusan MK sebelumnya.
Partai Buruh menguji konstitusionalitas Pasal 222 UU Pemilu. Pasal itu mengatur bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden bisa dilakukan jika partai politik (parpol) atau gabungan parpol punya 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional pada pemilu sebelumnya. Adapun Partai Buruh ingin pasal tersebut dinyatakan inkonstitusional alias dihapus.
Anggota tim kuasa hukum Partai Buruh, Feri Amsari, mengatakan, salah satu alasan pihaknya yakin gugatan ini bakal dikabulkan adalah karena MK sudah meninggalkan 'rezim open legal policy'. Celah ini akan menjadi pintu masuk bagi Partai Buruh memenangkan gugatan.
Feri menjelaskan, dari 30 gugatan sebelumnya, MK selalu menolak permohonan dengan alasan pasal presidential threshold merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. Karena bukan kewenangannya, MK tidak membahas substansi pasal presidential threshold itu.
"Dulu kalau sudah bahas Pasal 222 ini, cara MK mengelak dari tanggung jawabnya dengan mengatakan pasal tersebut open legal policy. Jadi silakan parlemen dan pemerintah mengaturnya dalam undang-undang," kata Feri Amsari saat konferensi pers di Kantor LBH Jakarta, Jumat (14/7/2023).
Adapun kini, kata Feri, MK telah berubah pandangan dalam menghadapi pasal open legal policy. Perubahan itu tampak dalam putusan MK atas permohonan perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, yang dibacakan pada Mei 2023 lalu. MK mengabulkan permohonan tersebut, meski soal masa jabatan adalah open legal policy.
"Nah gara-gara putusan terkait KPK itu, artinya MK sudah tidak lagi menggunakan rezim putusan open legal policy," ujar Feri.
"Dengan demikian, MK wajib pula menafsirkan apakah Pasal 222 UU Pemilu ini bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak. Jadi, tidak bisa lagi menghindar dengan alasan open legal policy," kata pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas itu menambahkan.
Feri mengatakan, dengan MK yang sudah mau memutus pasal bersifat open legal policy, tentu gugatan pasal presidential threshold akan masuk ke ranah substansi. Dirinya pun bisa menyampaikan penjelasan mengapa pasal presidential threshold bertentangan dengan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945.
Sekilas, Feri menjelaskan bahwa Pasal 6A ayat 2 secara eksplisit menyatakan bahwa calon presiden dan atau calon wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum penyelenggaraan pemilu.
Pasal tersebut tidak menyertakan syarat-syarat lain seperti presidential threshold, apalagi berdasarkan raihan kursi pemilu sebelumnya. "Artinya berdasarkan pasal 6A Ayat 2, Partai Buruh berhak secara konstitusional mengajukan calon presiden dan atau calon wakil presiden," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, dalam sistem pemerintahan presidensial di negara mana pun tidak dikenal istilah ambang batas pencalonan presiden. Hanya ada ketentuan ambang batas kemenangan menjadi presiden atau jumlah suara yang harus dikumpulkan capres untuk menjadi presiden terpilih.
Gugatan Partai Buruh ini akan didaftarkan ke MK pada Kamis (20/7/2023). Gugatan itu diajukan oleh tiga pihak, yakni Partai Buruh, dan dua mantan bakal caleg Partai Buruh yang memilih mengundurkan diri karena partainya tidak bisa mencalonkan presiden.