REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri mengeklaim pihaknya tidak pernah menargetkan seseorang sebagai tersangka kasus rasuah. Dia menegaskan, lembaga antikorupsi ini bekerja sesuai kecukupan alat bukti.
Hal itu Firli sampaikan saat konferensi pers penahanan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Hasbi Hasan yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap penanganan perkara di MA. Dia menanggapi pertanyaan awak media mengenai kabar Hasbi ditargetkan menjadi tersangka oleh KPK.
"Saya ingin katakan KPK tidak pernah menjadikan seseorang sebagai target, tidak ada. Karena kalau KPK bekerja menjadikan orang target itu pasti tidak profesional," kata Firli, Rabu (12/7/2023).
Firli menjelaskan, KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka setelah mengantongi alat bukti yang cukup. Dia menyebut, seluruh proses yang dilakukan pihaknya sebelum penetapan tersangka sudah sesuai dengan tugas pokok KPK.
"KPK bekerja sesuai dengan asas-asas pelaksanaan tugas pokok di KPK. KPK tuh tidak ada target, tapi dia muncul sendiri. Jadi tidak boleh ada target dan tidak akan mungkin pernah terjadi target mentarget," tegas Firli.
"KPK bekerja tidak pernah mentarget seseorang untuk menjadi tersangka dan itu tentu melalui bukti yang cukup," tambah dia menegaskan.
Sebelumnya, KPK resmi menahan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Hasbi Hasan. Dia diduga menerima uang sebesar Rp 3 miliar usai membantu pengondisian penanganan perkara kasasi di MA
Kasus ini berawal saat debitur KSP Intidana Heryanto Tanaka mengajukan kasasi ke MA lantaran tidak puas putusan Pengadilan Negeri (PN) Semarang yang membebaskan terdakwa Budiman Gandi Suparman. Heryanto kemudian menunjuk Theodorus Yosep Parera sebagai pengacaranya.
Setelah itu, Heryanto menghubungi kenalannya, yakni eks Komisaris Wika Beton, Dadan Tri Yudianto yang memiliki relasi di MA untuk meminta bantuan mengawal proses kasasi tersebut. Keduanya pun membuat kesepakatan.
"DTY (Dadan Tri Yudianto) turut mengawal proses kasasi dengan adanya pemberian fee memakai sebutan 'suntikan dana'," ujar Firli.
Firli menyebut, dari komunikasi antara Heryanto dan Yosep Parera ada sejumlah skenario yang diajukan untuk mengabulkan kasasi tersebut. Skenario itu disebut dengan istilah 'jalur atas' dan 'jalur bawah'.
"Istilah 'jalur atas' dan 'jalur bawah' yang dipahami dan disepakati keduanya berupa penyerahan sejumlah uang ke beberapa pihak yang memiliki pengaruh di Mahkamah Agung yang satu diantaranya HH (Hasbi Hasan) selaku Sekretaris Mahkamah Agung," ujar Firli.
Selanjutnya, Heryanto memerintahkan Yosep Parera untuk mengirimkan susunan Majelis Hakim tingkat kasasi ke Dadan pada Maret 2022. Lalu, Heryanto bertemu dengan Dadan dan Yosep Parera di Rumah Pancasila Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah sebagai bentuk keseriusan pengawalan kasasi di MA.
Dalam pertemuan itu, Dadan juga sempat melakukan komunikasi dengan Hasbi melalui sambungan telepon. Dia meminta Hasbi untuk turut serta mengawal dan mengurus kasasi perkara Heryanto di MA dengan disertai adanya pemberian sejumlah uang.
"Dalam komunikasi itu, HH sepakat dan menyetujui untuk turut ambil bagian dalam mengawal dan mengurus kasasi perkara HT," tegas Firli.
Setelah terjalin kesepakatan, terdakwa Budiman Gandi Suparman dinyatakan terbukti bersalah di tingkat kasasi dan dipenjara lima tahun. Kemudian, sekitar Maret sampai dengan September 2022 Heryanto mentransfer uang ke Dadan sebanyak tujuh kali dengan jumlah sekitar Rp 11,2 miliar.
"Dari uang Rp 11,2 miliar tersebut, DTY kemudian membagi dan menyerahkannya pada HH sesuai komitmen yang disepakati keduanya dengan besaran yang diterima HH sejumlah sekitar Rp 3 Miliar," ujar Ketua KPK.