REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) menyatakan, perlindungan hukum bagi jaksa dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tetap diperlukan. Tetapi, menurut MA, perlindungan tersebut harus dibatasi agar tidak menimbulkan impunitas.
Pernyataan itu disampaikan Hakim Yustisial pada Biro Hukum dan Humas MA, Rizkiansyah Panca Yunior Utomo dalam sidang lanjutan pengujian materi UU Kejaksaan di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (15/7/2025).
“Perlindungan hukum bagi jaksa, sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang Kejaksaan tetap diperlukan untuk menjaga independensi dan keamanan dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangannya, tetapi harus dengan batasan yang tegas sehingga tidak menimbulkan impunitas dan tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum serta equality before the law (persamaan di hadapan hukum),” kata Rizkiansyah.
Konstitusionalitas Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan dipersoalkan dalam tiga perkara sekaligus, yakni Perkara Nomor 9/PUU-XXIII/2025, Perkara Nomor 15/PUU-XXIII/2025, dan Perkara Nomor 67/PUU-XXIII/2025. Pasal tersebut mengatur bahwa dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.
Menurut MA, ketentuan norma pasal tersebut memberikan perlindungan bagi jaksa tanpa batasan atau pengecualian, serta tidak ada pembedaan secara tegas antara tindakan dalam kapasitas resmi dan tindakan pribadi atau kejahatan berat.
“Dengan perlindungan tanpa batasan atau pengecualian, pengawasan eksternal menjadi sulit dilaksanakan dan hukum sulit ditegakkan secara efektif,” ucap Rizkiansyah.
Pasal 8 ayat (5) UU Kejaksaan juga dinilai menimbulkan perdebatan terkait potensi impunitas bagi jaksa dan risiko kesewenang-wenangan.
Rizkiansyah menyebut, ketentuan tanpa batasan yang jelas dapat berubah dari imunitas menjadi impunitas, yakni kekebalan mutlak yang membuka peluang penyalahgunaan wewenang dan menghambat akuntabilitas.