Rabu 12 Jul 2023 20:55 WIB

Hasbi Hasan Diduga Terima Rp 3 Miliar Terkait Penanganan Perkara di MA

Dadan meminta Hasbi mengawal dan mengurus kasasi perkara Heryanto di MA.

Rep: Flori Sidebang/ Red: Agus raharjo
Ketua KPK Firli Bahuri (tengah) didampingi Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Asep Guntur Rahayu (kiri) dan Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri (kanan) menyampaikan keterangan pers penahanan tersangka sekretaris Mahkamah Agung (MA) Hasbi Hasan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (12/7/2023). KPK resmi melakukan penahanan terhadap tersangka Hasbi Hasan terkait kasus dugaan suap pengurusan perkara di lingkungan MA.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Ketua KPK Firli Bahuri (tengah) didampingi Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Asep Guntur Rahayu (kiri) dan Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri (kanan) menyampaikan keterangan pers penahanan tersangka sekretaris Mahkamah Agung (MA) Hasbi Hasan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (12/7/2023). KPK resmi melakukan penahanan terhadap tersangka Hasbi Hasan terkait kasus dugaan suap pengurusan perkara di lingkungan MA.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Hasbi Hasan terkait kasus suap di instansinya. Dia diduga menerima uang sebesar Rp 3 miliar usai membantu pengondisian penanganan perkara kasasi di MA.

"Besaran (uang) yang diterima HH (Hasbi Hasan) sejumlah sekitar Rp 3 miliar," kata Ketua KPK, Firli Bahuri dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (12/7/2023).

Baca Juga

Firli mengatakan, kasus ini berawal saat Debitur KSP Intidana Heryanto Tanaka mengajukan kasasi ke MA lantaran tidak puas putusan Pengadilan Negeri (PN) Semarang yang membebaskan terdakwa Budiman Gandi Suparman. Heryanto kemudian menunjuk Theodorus Yosep Parera sebagai pengacaranya.

Setelah itu, Heryanto menghubungi kenalannya, yakni eks Komisaris Wika Beton, Dadan Tri Yudianto yang memiliki relasi di MA untuk meminta bantuan mengawal proses kasasi tersebut. Keduanya pun membuat kesepakatan.

"DTY (Dadan Tri Yudianto) turut mengawal proses kasasi dengan adanya pemberian fee memakai sebutan 'suntikan dana'," ujar Firli.

Firli menyebut, dari komunikasi antara Heryanto dan Yosep Parera ada sejumlah skenario yang diajukan untuk mengabulkan kasasi tersebut. Skenario itu disebut dengan istilah 'jalur atas' dan 'jalur bawah'.

"Istilah 'jalur atas' dan 'jalur bawah' yang dipahami dan disepakati keduanya berupa penyerahan sejumlah uang ke beberapa pihak yang memiliki pengaruh di Mahkamah Agung yang satu diantaranya HH (Hasbi Hasan) selaku Sekretaris Mahkamah Agung," ujar Firli.

Selanjutnya, Heryanto memerintahkan Yosep Parera untuk mengirimkan susunan Majelis Hakim tingkat kasasi ke Dadan pada Maret 2022. Lalu, Heryanto bertemu dengan Dadan dan Yosep Parera di Rumah Pancasila Semarang, Kota Semarang, Jawa Tengah sebagai bentuk keseriusan pengawalan kasasi di MA.

Dalam pertemuan itu, Dadan juga sempat melakukan komunikasi dengan Hasbi melalui sambungan telepon. Dia meminta Hasbi untuk turut serta mengawal dan mengurus kasasi perkara Heryanto di MA dengan disertai adanya pemberian sejumlah uang.

"Dalam komunikasi itu, HH sepakat dan menyetujui untuk turut ambil bagian dalam mengawal dan mengurus kasasi perkara HT," ujar Firli.

Setelah terjalin kesepakatan, terdakwa Budiman Gandi Suparman dinyatakan terbukti bersalah di tingkat kasasi dan dipenjara lima tahun. Kemudian, sekitar Maret sampai dengan September 2022 Heryanto mentransfer uang ke Dadan sebanyak tujuh kali dengan jumlah sekitar Rp 11,2 miliar. "Dari uang Rp 11,2 miliar tersebut, DTY kemudian membagi dan menyerahkannya pada HH sesuai komitmen yang disepakati keduanya dengan besaran yang diterima HH sejumlah sekitar Rp 3 Miliar," jelas Firli.

Atas perbuatannya, Hasbi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement