Senin 26 Jun 2023 22:55 WIB

Soal Kewenangan Usut Korupsi, Polri Pasang Badan untuk Kejaksaan

Dalam sidang terkait kewenangan usut korupsi, Polri mendukung Kejaksaan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
KPK, MABES POLRI, KEJAKSAAN AGUNG (Ilustrasi). Dalam sidang terkait kewenangan usut korupsi, Polri mendukung Kejaksaan.
KPK, MABES POLRI, KEJAKSAAN AGUNG (Ilustrasi). Dalam sidang terkait kewenangan usut korupsi, Polri mendukung Kejaksaan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Divisi Hukum (Kadivkum) Polri Irjen Pol Viktor T Sihombing menyampaikan KUHAP menentukan adanya sistem penegakan hukum pidana terpadu. Ini termasuk proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polri/PNS, penuntutan oleh Kejaksaan, dan pemeriksaan di depan persidangan oleh Hakim.

Hal itu dikatakan Victor mewakili Polri selaku Pihak Terkait dalam sidang lanjutan perkara nomor 28/PUU-XXI/2023 yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (26/6/2023). Permohonan perkara ini diajukan oleh pengacara atas nama M. Yasin Djamaludin. 

Baca Juga

Dalam permohonannya, Yasin melakukan uji materi tiga undang-undang, yakni Pasal 30 Ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan), Pasal 39 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) khusus frasa ‘atau Kejaksaan’, Pasal 50 Ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan/atau Kejaksaan’ Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).

"Dalam rangka mendukung komitmen penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi, maka Polri, Kejaksaan, dan KPK telah bersinergi dengan baik sebagai wujud optimalisasi pemberantasan korupsi dalam lingkup intelijen, penyidikan, penyelidikan, penyidikan, dan penindakan," kata Victor dalam keterangannya di hadapan majelis hakim MK. 

Victor merujuk asas keseimbangan yang termuat dalam KUHAP merupakan bentuk pembatasan penumpukan kekuasaan bagi penegak hukum. Hal ini diimplementasikan dalam bentuk Nota Kesepahaman Bersama antara Polri, Kejaksaan, dan KPK. 

"Sehingga kekhawatiran pemohon terhadap tidak adanya pengendalian berkaitan dengan pemberian kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu kepada Kejaksaan menjadi tidak terbukti," ujar Viktor. 

Viktor juga menjelaskan KUHAP meletakkan asas penjernihan dan modifikasi bagi fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum.

"Penjernihan pengelompokan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tetap terbina korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antara satu dengan instansi lainnya, hingga taraf proses pelaksanaan eksekusi dan pengawasan pengamatan pelaksanaan eksekusi," ujar Victor. 

Sebelumnya, pemohon mempersoalkan diberikannya kewenangan penyidikan dalam tindak pidana tertentu menyebabkan Kejaksaan menjadi superpower. Pemohon menuding Kejaksaan memiliki kewenangan lebih, selain melakukan penuntutan jaksa bisa juga sekaligus melakukan penyidikan.

Pemberian wewenang jaksa sebagai penyidik dalam Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan menurut pemohon telah membuat jaksa dapat sewenang-wenang dalam melakukan proses penyidikan. 

Oleh karena itu, Pemohon dalam Petitum permohonan meminta kepada MK agar menyatakan Pasal 30 Ayat (1) huruf d UU Kejaksaan, Pasal 39 UU Tipikor, Pasal 44 ayat (4) dan ayat (5) Khusus frasa ‘atau Kejaksaan”, Pasal 50 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) khusus frasa ‘atau Kejaksaan” dan Pasal 50 ayat (4) khusus frasa ‘dan atau kejaksaan’ UU KPK bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement