Selasa 06 Jun 2023 06:49 WIB

ICW Dkk Desak KPU Batalkan Penghapusan Kewajiban Lapor Sumbangan Kampanye

ICW Dkk mendesak KPU untuk membatalkan penghapusan kewajiban lapor sumbangan kampanye

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Gedung KPU
Foto: Tahta Aidilla/ Republika
Gedung KPU

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama delapan organisasi lainnya mengkritik keras kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menghapus ketentuan yang mewajibkan peserta pemilu melaporkan dana sumbangan kampanye. ICW dkk mendesak KPU membatalkan penghapusan itu karena pelaporan dana sumbangan kampanye merupakan praktik baik dalam upaya pemberantasan korupsi. 

"Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih mendesak KPU RI mencabut keterangannya dan tetap mengakomodir Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye (LPSDK) untuk Pemilu 2024 mendatang," kata perwakilan koalisi, peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam siaran persnya, Senin (5/6/2023). 

Baca Juga

KPU RI diketahui tidak memuat ketentuan wajib melaporkan LPSDK dalam Rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Dana Kampanye. Beleid ini disetujui oleh Komisi II DPR RI. Dengan demikian, semua peserta Pemilu 2024 tidak perlu melaporkan dana sumbangan kampanye yang mereka dapat kepada KPU. 

Padahal, kewajiban LPSDK sudah diterapkan sejak Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. KPU RI beralasan, penghapusan dilakukan karena LPSDK tidak diatur dalam UU 7/2017 tentang Pemilu. Ketentuan itu juga dihapus karena masa kampanye Pemilu 2024 pendek, yakni 75 hari saja. 

KPU juga berdalih bahwa penghapusan LPSDK dilakukan karena informasi mengenai penerimaan sumbangan dana kampanye akan termuat dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) dan Laporan Penerimaan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK). 

Menurut Kurnia, sejumlah dalih KPU itu menunjukkan adanya kesesatan berpikir dan logika yang bengkok. Dia menjelaskan, meski LPSDK tidak disebut langsung dalam UU Pemilu, bukan berarti ketentuan tersebut bertentangan dengan undang-undang. 

Kurnia menegaskan, kewajiban penyerahan LPSDK harus diartikan sebagai mandat langsung dari tiga prinsip pemilu yang diatur dalam Pasal 3 UU Pemilu, yakni, jujur, terbuka, dan akuntabel. Selain itu, ketentuan LPSDK juga memenuhi Pasal 4 huruf b UU Pemilu yang menyebutkan pemilu bertujuan untuk mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas.

Dia mengatakan, esensi filosofis kehadiran LPSDK adalah mendesak peserta pemilu bertindak jujur dalam melaporkan penerimaan sumbangan para calon anggota legislatifnya pada tengah waktu masa kampanye.

"Hal itu akan membangun instrumen pengawasan secara paralel dari pemilih sekaligus menjadi preferensi sebelum mereka menentukan pilihan politik dalam gelaran pemilu," ujarnya. 

Koalisi sipil ini juga menilai alasan durasi kampanye yang pendek adalah dalih tidak masuk akal. Sebab, beban pelaporan ada pada partai politik, sedangkan KPU hanya perlu memverifikasi laporan dan mempublikasikannya. 

"Kami khawatir tindakan para anggota KPU ini hanya untuk mengakomodir kepentingan politik peserta pemilu yang tidak ingin disibukkan dengan urusan administrasi pelaporan keuangan," ujar Kurnia. 

Koalisi sipil ini menilai logika KPU bengkok ketika menyebut LPSDK dihapus karena sudah ada LADK dan LPPDK. Padahal ketiga instrumen tersebut tidak bisa disandingkan. 

Sebab, LADK memuat sumber perolehan saldo awal rekening khusus dana kampanye sebelum masa kampanye dimulai. Adapun LPPDK adalah seluruh penerimaan dan pengeluaran selama masa kampanye yang dilaporkan setelah masa kampanye. Sedangkan LPSDK berisikan laporan penerimaan dan pengeluaran paruh waktu dalam masa kampanye. 

"Jadi, LPSDK hanya satu-satunya medium yang dapat dimanfaatkan oleh pemilih untuk melakukan pengecekan dari aspek transparansi dan keterbukaan, bahkan kesesuaian, kandidat politik sebelum pemungutan suara pada pemilu mendatang," ujarnya. 

Kurnia menambahkan, ketentuan LPSDK ini bukan hal baru karena sudah diterapkan sejak tahun 2014. Artinya, semua anggota KPU RI hari ini telah menjalankan dan memanfaatkannya pada pemilu-pemilu yang lalu.

Untuk diketahui, lima komisioner KPU RI saat ini sebelumnya juga menjabat sebagai komisioner KPU pusat maupun daerah, satu mantan komisioner Bawaslu RI, dan satu pengamat kepemiluan.

"Tak salah jika kemudian dikatakan bahwa seluruh anggota KPU RI seolah-olah amnesia akan pentingnya instrumen LPSDK ini," kata Kurnia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement