REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali meminta keterangan Presenter televisi swasta Brigita Purnawati Manohara pada Senin (5/6/2023). Brigita diperiksa kembali sebagai saksi dalam kasus dugaan pencucian uang dan suap dengan tersangka Bupati nonaktif Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak (RHP).
Brigita tercatat dua kali diperiksa sebagai saksi dalam kasus ini pada Senin 25 Juli 2022 dan Jumat 29 Juli 2022. Dalam dua panggilan tersebut, Brigita ditanyai gelontoran uang dari RHP.
"Jadi saya diperiksa, dipanggil penyidik untuk tersangka RHP atas dugaan TPPU. saya diperiksa ditanyai 18 pertanyaan, dan untuk materinya bisa langsung tanya ke penyidik ya teman-teman," kata Brigita kepada wartawan usai pemeriksaan tersebut, Senin (5/6/2023).
Brigita menjelaskan pemanggilannya kali ini menyangkut perkara Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang menjerat RHP. Adapun pemeriksaan sebelumnya baru membahas perkara korupsi RHP saja.
"(Penyidik KPK) hanya mengonfirmasi karena ini kan dua tindak pidana yang berbeda tentu saja BAP-nya harus berbeda ya," ucap Brigita.
Brigita sebenarnya sudah mengembalikan uang senilai Rp 480 juta pada 26 Juli 2022 ke rekening penerimaan KPK. Brigita mengeklaim uang tersebut berasal dari RHP atas kerja profesionalnya sebagai presenter TV dan konsultan.
"Sudah dikembalikan semua (Rp 480 juta). Ini hanya melengkapi berkas untuk tindak pidana lanjutan yang lainnya yang akan disangkakan," ujar Brigita.
Diketahui, KPK menangkap RHP pada Ahad (19/2/2023). RHP ditangkap saat kembali ke Jayapura, Papua setelah kabur selama kurang lebih tujuh bulan. Lembaga antikorupsi ini juga tengah menelusuri alasan RHP kabur ke Papua Nugini.
RHP telah ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan suap, gratifikasi, dan pencucian uang. RHP diduga menerima uang haram mencapai Rp 200 miliar.
Kasus ini bermula saat RHP menjabat sebagai Bupati Mamberamo Tengah pada tahun 2013-2018 dan 2018-2023. Selama dua periode menduduki posisi itu RHP diduga menggunakan kewenangannya untuk menentukan sendiri para kontraktor yang nantinya akan mengerjakan sejumlah proyek pembangunan infrastruktur di Mamberamo Tengah, Papua.
RHP juga menentukan syarat khusus agar para kontraktor dapat dimenangkan. Antara lain, yakni dengan adanya penyetoran sejumlah uang kepada dirinya.
Ada tiga pihak swasta yang diduga memberi suap kepada RHP. Mereka adalah Direktur PT Bina Karya Raya, Simon Pampang (SP), Direktur Bumi Abadi Perkasa, Jusiendra Pribadi Pampang (JPP), dan Direktur PT Solata Sukses Membangun, Marten Toding (MT).
RHP kemudian memerintahkan pejabat di Dinas Pekerjaan Umum untuk mengondisikan proyek-proyek yang nilai anggarannya besar agar diberikan khusus kepada mereka bertiga. Jusiendra Pribadi Pampang diduga mendapatkan sebanyak 18 paket pekerjaan dengan total nilai Rp 217,7 miliar. Diantaranya proyek pembangunan asrama mahasiswa di Jayapura.
Lalu, Simon Pampang diduga mendapatkan enam paket pekerjaan dengan nilai Rp 179,4 miliar. Sementara itu, Marten Toding diduga mendapatkan tiga paket pekerjaan dengan nilai Rp 9,4 miliar.
RHP menerima uang suap dari ketiga pihak swasta itu melalui transfer rekening bank dengan menggunakan nama-nama dari beberapa orang kepercayaannya. Selain itu, dia diduga menerima sejumlah uang sebagai gratifikasi dari beberapa pihak. Ia juga diduga melakukan tindak pidana pencucian uang berupa membelanjakan, menyembunyikan maupun menyamarkan asal usul dari harta kekayaan yang berasal dari korupsi.