Ahad 04 Jun 2023 18:51 WIB

RUU Kesehatan Dinilai Melebar, Begini Penjelasan Pakar Hukum dari UI

RUU Kesehatan dikhawatirkan akan tumpang tindih dengan aturan lain.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Nashih Nashrullah
Sejumlah tenaga kesehatan saat melaksanakan aksi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Senin (8/5/2023). Aksi damai yang dilaksanakan oleh gabungan organisasi profesi kesehatan itu menolak RUU Omnibus Law Kesehatan yang dinilai berpotensi memecah belah profesi kesehatan, melemahkan perlindungan dan kepastian hukum tenaga kesehatan. Selain itu mereka juga menuntut pemerintah untuk memperhatikan sejumlah fasilitas kesehatan di daerah pelosok yang belum memadai.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah tenaga kesehatan saat melaksanakan aksi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta, Senin (8/5/2023). Aksi damai yang dilaksanakan oleh gabungan organisasi profesi kesehatan itu menolak RUU Omnibus Law Kesehatan yang dinilai berpotensi memecah belah profesi kesehatan, melemahkan perlindungan dan kepastian hukum tenaga kesehatan. Selain itu mereka juga menuntut pemerintah untuk memperhatikan sejumlah fasilitas kesehatan di daerah pelosok yang belum memadai.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang sedang digodok Pemerintah bersama DPR RI memantik beragam diskusi dan masukan.  

Pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Fitriani Ahlan Sjarif, mengkritisi RUU tersebut.  

Baca Juga

Menurutnya, substansi RUU Kesehatan itu cenderung terlalu luas dan berpotensi tumpang tindih. DPR telah menetapkan RUU tentang Kesehatan menjadi usul inisiatifnya. RUU tersebut nantinya akan menggunakan metode omnibus law seperti yang dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

"RUU ini akan memiliki banyak peraturan pelaksana yang kontraproduktif dengan tujuan pemerintah, yakni penyederhanaan regulasi agar perekonomian bisa semakin lincah," kata Fitri dalam keterangannya pada Ahad (4/6/2023).  

Fitri menjelaskan masifnya substansi yang diatur dalam RUU Kesehatan merupakan konsekuensi dari metode omnibus law yang dipilih. Namun, pemerintah menurut Fitri malah lalai dalam melakukan uji keterhubungan antar substansi.  

"Awalnya mau buat Undang-Undang Kesehatan, mencakup soal pelayanan kesehatan. Namun terpikirkan juga soal sistem jaminan kesehatan," ujar Fitri.  

Fitri menyebut pembahasan mengenai RUU Kesehatan ini juga ditarik kepada pengaturan sistem jaminan ketenagakerjaan. Padahal pengaturan itu menurutnya bukan wilayah dari penyelenggaraan kesehatan. 

"Secara umum sebenarnya tidak begitu nyambung dengan RUU Kesehatan ini," ujar Direktur Center for Legislative Drafting (ICLD) itu. 

Fitri mengungkapkan sejumlah dampak dari substansi RUU Kesehatan yang terlalu luas tersebut. 

Yaitu RUU Kesehatan dapat memicu tumpang tindih regulasi, tarik ulur kewenangan, hingga dikhawatirkan akan membingungkan publik.  

"RUU Kesehatan ini justru akan mendelegasikan banyak peraturan pelaksana. Jadi, tujuan pengurangan peraturan yang digadang-gadang itu malah tidak tercapai. Ini tentu berpotensi membingungkan," ucap Fitri.  

Selain itu, Fitri menganggap RUU Kesehatan kontraproduktif dengan semangat pemerintah yang selama ini konsisten mengurangi regulasi-regulasi yang tumpang tindih. 

Padahal, semangat undang-undang omnibus law semestinya penyederhanaan jumlah regulasi tanpa mengurangi esensi atas hal-hal yang terkandung di dalamnya. 

Baca juga: Mualaf Lourdes Loyola, Sersan Amerika yang Seluruh Keluarga Intinya Ikut Masuk Islam

 

"Tumpang tindih lainnya dalam RUU Kesehatan tecermin dari pasal zat adiktif yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika," ucap Fitri.  

Fitri mengingatkan narkotika maupun tembakau sudah diatur melalui regulasi yang berbeda. DPR telah memasukkan RUU Narkotika sebagai revisi dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam Prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020–2024.

Terbaru, RUU Narkotika tersebut masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023 dan penanggung jawab pembahasannya adalah Komisi I DPR. Sedangkan, RUU Kesehatan penanggung jawabnya adalah Komisi IX DPR. 

"Kami meminta pemerintah membuka ruang partisipasi publik yang dapat memberikan jawaban atas berbagai saran yang disampaikan oleh masyarakat," ucap Fitri.    

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement