Selasa 30 May 2023 01:48 WIB

BRIN Akui Kegiatan Eksplorasi Antariksa Indonesia Tertinggal

Saat ini Indonesia masih fokus penguatan penguasaan teknologi satelit.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Gita Amanda
Perkembangan kegiatan eksplorasi antariksa dengan misi keluar dari orbit bumi di Indonesia tertinggal dari negara-negara seperti Cina, India, dan Uni Emirat Arab (UEA).  (ilustrasi).
Foto: Republika/Thoudy Badai
Perkembangan kegiatan eksplorasi antariksa dengan misi keluar dari orbit bumi di Indonesia tertinggal dari negara-negara seperti Cina, India, dan Uni Emirat Arab (UEA). (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perkembangan kegiatan eksplorasi antariksa dengan misi keluar dari orbit bumi di Indonesia tertinggal dari negara-negara seperti Cina, India, dan Uni Emirat Arab (UEA). Ternyata, hal tersebut memang belum menjadi prioritas utama Indonesia saat ini, terlebih dengan adanya kendala utama berupa anggaran yang belum memadai.

“Prioritas Indonesia belum ikut kegiatan eksplorasi antariksa dengan misi keluar dari orbit bumi. Saat ini Indonesia masih fokus penguatan penguasaan teknologi satelit untuk pengamatan bumi dan telekomunikasi,” ujar Peneliti Utama Astronomi-Astrofisika Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Thomas Djamaluddin, kepada Republika, Senin (29/5/2023).

Baca Juga

Bekas Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional itu menyampaikan, kendala utama yang Indonesia hadapi untuk melakukan kegiatan eksplorasi antariksa seperti negara-negara lain di atas ada pada anggaran. Menurut dia, anggaran yang ada belum memadai untuk mengikuti ‘lomba’ menuju luar angkasa.

“Ya (Indonesia tertinggal). China dan India memang lebih dulu majunya dengan dukungan sumber daya manusia (SDM) dan anggaran yang kuat. UEA karena ada dukungan anggaran yang besar,” jelas Thomas.

Meski begitu, dia merasa yakin Indonesia bisa menjadi negara yang maju di bidang keantariksaan. Visi keantariksaan Indonesia yang maju dia nilai dapat tercapai dengan ekonomi bangsa yang semakin kuat. Satu hal yang menurut dia perlu diingat adalah keantariksaan memang merupakan teknologi yang mahal, tapi punya daya ungkit kemajuan bangsa yang kuat.

“Dengan ekonomi yang makin kuat, insyaallah visi keantariksaan Indonesia bisa tercapai. Keantariksaan memang teknologi yang mahal, tetapi mempunyai daya ungkit kemajuan bangsa yang kuat,” kata dia.

Sementara itu, Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, menjelaskan, urusan keantariksaan dahulu menjadi tanggung jawab LAPAN dan sekarang ada di tangan BRIN sesuai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2013 tentang Keantariksaan. BRIN, kata dia, sudah mencanangkan penguatan program keantariksaan dengan fokus pengembangan konstelasi satelit penginderaan jauh yang terdiri dari 18 satelit penginderaan jauh. 

“Enam satelit optik resolusi sangat tinggi dan tinggi, dua satelit radar, dan 10 satelit IoT (internet of things). Selain itu juga dilakukan penguatan lima stasiun bumi,” ungkap Handoko, Senin (29/5/2023).

Dia mengatakan, satelit penginderaan jauh itu diperlukan untuk memastikan Indonesia mandiri dalam penyediaan data citra penginderaan jauh untuk berbagai kebutuhan. Mulai dari pemantauan perairan dan perbatasan, mitigasi kebakaran hutan, pemetaan perikanan tangkap di laut, pemantauan kebakaran hutan, pemetaan pertanian, pemantauan iklim dan cuaca, dukungan perencanaan tata ruang, dan lainnya.

Handoko menerangkan, Indonesi belum akan masuk secara masif ke dalam eksplorasi luar angkasa. Tapi, kata dia, BRIN tetap ikut terlibat di dalam konsorsium eksplorasi bulan melalui kerja sama multilateral. Menurut rencana, sebagian besar satelit dibuat dalam bentuk pengembangan bersama.

“Baik di luar negeri maupun di dalam negeri untuk memastikan transfer teknologi dan keterlibatan industri dalam negeri di semua tahapan,” jelas dia.

Sama seperti Thomas, Handoko pun mengakui Indonesia memang tertinggal di sisi upaya pengeksplorasian luar angkasa. Tapi di sisi lain, fokus terhadap kebutuhan nasional untuk citra penginderaan jarak jauh tak kalah penting, bahkan lebih genting untuk dilaksanakan saat ini. 

“Kita masih terlibat melalui kerja sama multilateral, sehingga tetap dapat mengikuti tanpa perlu investasi besar dan menanggung risiko yang besar pula,” tutur Handoko.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement