Senin 29 May 2023 14:52 WIB

Mantan Ketua MK: Tidak Ada yang Salah dengan Kewenangan Kejaksaan Menyelidiki Korupsi

Dalam teori hukum pidana Kejaksaan adalah pemegang perkara.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie (kanan) menegaskan tidak ada yang salah dalam kewenangan Kejaksaan untuk menyelidiki perkara korupsi. foto ilustrasi
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie (kanan) menegaskan tidak ada yang salah dalam kewenangan Kejaksaan untuk menyelidiki perkara korupsi. foto ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan tidak ada yang salah dalam kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana khusus korupsi. Sekalipun Kejaksaan tidak disebut dalam UUD, namun kedudukannya sama dengan Kepolisian.

Pernyataan ini disampaikan Jimly menanggapi pertanyaan tentang munculnya judicial review (JR) yang diajukan sejumlah lawyer atas kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyelidikan perkara korupsi.  “Tidak ada yang salah (Kejaksaan punya kewenangan penyelidikan korupsi, red), memang begitu sesuai dengan amanat yang diberikan undang-undang,” kata Jumly, Senin (29/5/2023).

Baca Juga

Dipaparkan Jimly, Kejaksaan memag tidak disebut dalam konstitusi. Kewenangan kejaksaan melakukan penyidikan pidana khusus diatur dengan UU.  “Tidak semua diatur di konstitusi. Hal-hal yang teknis diatur dengan UU. Jika pidana khusus kejaksaan bisa langsung melakukan penyidikan, tetapi kalau pidana umum harus lewat kepolisian,” papar Jimly.

Memang ada sejumlah pihak yang menafsirkan polisi lebih tinggi dibanding kejaksaan. Hal ini karena setelah reformasi, polisi tercantum dalam Pasal 30 UUD (tentang pemisahan TNI-Polri), sementara kejaksaan tidak.  “Tafsir ini tidak benar,” kata dia.

Dijelaskan Jimly, pencantuman Polri dalam UUD dilakukan karena saat amandemen UUD isu penting reformasi adalah pemisahan TNI-Polri. Posisinya adalah TNI sebagai alat pertahanan negara, sementara Polri pelindung dan keamanan masyarakat. “Ini yang sering dijadikan alat untuk mengatakan Polri itu lebih penting dibanding Kejaksaan. Itu tidak benar,” jelas Jimly.

Jimly memaparkan, sebenarnya Kejaksaan juga mau dimasukkan dalam UUD. “Cuma saat reformasi kan banyak sekali isu penting,  supaya masuk ke konstitusi, sehingga sekalipun dalam draft rancangan ketiga UUD dan rancangan keempat UUD itu  (masalah kejaksaan) ada, dan masuk dalam risalah pembahasan BP (Badan Pekerja) MPR ada. Tapi tidak ada kesepakatan dan di-drop,” jelas dia.

Tapi diganti dengan pasal 24 ayat 3 yang berbunyi: badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan UU. Pasal ini berasal dari ide untuk mencantumkan kejaksaan. “Inilah termasuk dinamakan lembaga yang memiliki konstitution importance yang sama denga lembaga yang disebut dalam konstitusi,” papar anggota DPD RI ini.

Dengan demikian, ungkap Jimly, sekalipun Kejaksaan tidak disebut secara eksplisit dalam UUD, tapi sama pentingnya dengan kepolisian. Bahkan dalam sistem peradilan pidana terpadu, yang ada di berbagai negara, sebagai dominis litis atau pemegang perkara adalah kejaksaan.  Sedangkan fungsi kepolisian adalah menunjang dominis litis.

“KPK pun juga harus dilihat sebagai lembagayang memiliki konstitution importance yang sama dengan lembaga yang eksplisit disebut (di UUD). Jangan mentang-mentang disebut di UUD  (Kepolisian) terus dianggap lebih tinggi,” papar Jimly.

Otoritas Kejaksaan sekalipun tidak disebut dalam UUD, menurut Jimly, sangat kuat. Bahkan secara teoritis di bidang hukum pidana, Kejaksaan lebih kuat posisinya, karena pemilik perkara (dominis litis). “Sehingga penuntutan itu oleh Kejaksaan. Tidak bisa oleh kepolisian, apalagi PPNS,” jelas mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini.

Sehingga pidana-pidana yang sifatnya khusus, oleh undang-undang diberikan kepada Kejaksaan untuk penyelidikannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement