REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mempertanyakan sosok pendukung di balik gugatan yang diajukan oleh Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, mengenai usia minimal komisioner dan masa jabatan Pimpinan KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, Ghufron dinilai dengan mudahnya 'mendikte MK' dalam hal transformasi politik KPK dari lembaga penegak hukum di bidang antikorupsi, menjadi mesin politik 2024.
Ketua PBHI, Julius Ibrani, mengatakan hal itu dimulai dengan Ghufron yang meminta perubahan syarat usia minimal Komisioner KPK dari 50 tahun ke 40 tahun dalam Pasal 29 Huruf e UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK, lewat putusan MK yang penuh kejanggalan.
Misalnya, dijelaskan dia, pertimbangan soal frasa "atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK" tidak lazim dalam seleksi lembaga negara yang tak ada dalam Konstitusi, UUD 1945 maupun UU KPK.
"Sulap Nurul Ghufron tentu menimbulkan banyak pertanyaan, utamanya terkait 'siapa dia sebenarnya hingga mempunyai kekuatan politik yang begitu luar biasa?', yang tentu tidak dapat dijawab karena Nurul Ghufron bukanlah siapa-siapa. Lantas siapa di belakangnya? Siapa yang menyuruh? Dan mengambil manfaatnya?" kata Julius dalam siaran pers yang diterima Republika, Ahad (28/5/2023).
Selain itu, menurut Julius, pertimbangan putusan perkara nomor 112/PUU-XX/2022 yang diajukan Ghufron mengenai penambahan masa jabatan Pimpinan KPK menjadi lima tahun juga memiliki banyak kejanggalan. Diantaranya, yakni durasi pemeriksaan dan putusan yang sangat singkat.
Julius mengatakan MK bahkan dengan tegas menjelaskan bahwa KPK harus berada di bawah periode pengawasan Presiden. Sehingga masa jabatan Pimpinan KPK harus diperpanjang menjadi lima tahun dengan makna sebagai norma hukum baru, yang tidak ada di konstitusi dan bukan mandat UU KPK.
"Yang kemudian ditafsirkan secara brutal oleh Juru Bicara MK, Fajar Laksono, bahwa mengikat dan berlaku surut/mundur bagi kepemimpinan KPK saat ini," ujar dia.
Julius menjelaskan putusan itu berarti menunjukkan bahwa MK merasuk hingga level persoalan teknis, yakni agar bisa merevisi Keppres 129/P Tahun 2019 tentang Pengangkatan Pimpinan KPK. Dia mengatakan, hal ini jelas bertentangan dengan berbagai konstitusi dan UU MK sendiri, sekaligus menegaskan bahwa MK adalah pegawai lemerintahan, dan KPK dijadikan alat politik untuk Pemilu 2024 mendatang.
"Positive Legislation MK yang brutal dan merusak sendi-sendi tata negara Indonesia seperti ini, terlebih lagi menjadikan KPK sebagai alat politik 2024, merupakan preseden buruk dan keruntuhan sistem hukum pada titik terendah," kata Julius menjelaskan.
Julius pun meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar melanjutkan proses seleksi Pimpinan KPK dengan tetap berpegang teguh pada Keppres 129/P Tahun 2009 dan membentuk Panitia Seleksi untuk memilih Calon Pimpinan KPK di Desember 2023 nanti.
"Terlebih lagi, jangan sampai preseden buruk ini justru berbalik digunakan untuk menjatuhan Jokowi, oleh kelompok politik oposisi terhadap Jokowi saat ini, namun dapat berkuasa ke depannya. Mengingat Presiden Jokowi tidak punya partai politik, jadi tidak punya bumper pasca purna-tugas di 2024 nanti," kata dia.
Seperti diketahui, MK memutuskan menerima gugatan Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dari empat tahun menjadi lima tahun. Lewat putusan itu, Ketua KPK Firli Bahuri dkk akan terus menjabat hingga tahun depan atau pada masa Pemilu 2024.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat sidang pembacaan putusan pada Kamis (25/5/2023). Namun, putusan itu kini menimbulkan berbagai pro dan kontra di tengah publik.