REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) menuai pro kontra di publik. Hal itu lantaran draft revisi UU TNI sudah beredar di masyarakat. Beberapa ketentuan baru yang akan ditambahkan ke dalam RUU TNI memicu banyak polemik.
Kepala Bidang Riset Edukasi PSHK Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), M Addi Fauzani menilai, pembahasan revisi UU TNI saat ini memang masih pada proses internal TNI. Tepatnya, pembahasan baru di level Badan Pembinaan Hukum (Babinkum) TNI.
Meski begitu, ia mengingatkan, justru pada tahapan awal itu kerangka fondasi konsep akan terbentuk. Pasalnya, penting bagi setiap elemen masyarakat, pakar hukum, dan civitas akademika mengawal dan memberikan masukan.
Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII memberi beberapa catatan terhadap draf revisi UU TNI. Dia menilai, draft revisi UU TNI mengandung perluasan jabatan untuk prajurit aktif TNI.
Addi menerangkan, draf revisi UU TNI memungkinkan militer aktif menduduki jabatan strategis di 18 kementerian/lembaga negara. Bahkan, draf revisi UU TNI menambahkan delapan usulan instansi lainnya.
"Termasuk, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme," kata Addi saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat (26/5/2023).
Menurut dia, revisi UU TNI menambahkan tugas personel TNI, termasuk mengatasi aksi terorisme, mendukung pemerintah menanggulangi ancaman siber, dan mendukung pemerintah menanggulangi penyalahgunaan narkotika. Sehingga, TNI dapat dilibatkan dalam penumpasan teroris, siber, narkotika, dan keamanan.
Kondisi itu berpotensi membuat tumpang tindih tugas TNI-Polri. Addi menyebut, wacana perluasan jabatan dan penambahan tugas keamanan berpotensi mengulangi Dwifungsi ABRI. "Membuat TNI secara kelembagaan dan prajurit aktif TNI tidak fokus pada bidang utamanya, yakni bidang pertahanan," ujar Addi.
Selain itu, wacana penggunaan TNI di bidang keamanan oleh negara tentu berpotensi melanggar asas demokrasi, kedaulatan rakyat, dan amanat reformasi 1998. Sebab, TNI akan digunakan menghadapi masyarakat sipil.
Addi meminta TNI fokus tugas yang diamanatkan konstitusi Pasal 30 ayat (3) UUD NRI 1945. Dengan begitu, TNI sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaulatan bangsa dan negara.
Revisi UU TNI berwacana pula melepaskan penganggaran TNI yang tidak lagi di bawah Kemenhan, langsung ke Kemenkeu. Meskipun memangkas birokrasi, kata dia, tapi pengawasan penganggaran oleh Kemenhan dirasa masih diperlukan. "Hal ini mengingat semakin banyak pihak yang terlibat dalam pengawasan, maka sistem tersebut semakin baik," kata Addi.
Draf revisi juga berwacana menambah jenis operasi militer selain perang (OMSP). RUU TNI menambah jenis OMSP menjadi 19 jenis dari yang awalnya hanya 14 jenis. Hal itu mampu mendorong keterlibatan TNI meluas pada ranah sipil dan keamanan negeri, termasuk mengamankan proyek pembangunan pemerintah.