REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengatakan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak memiliki kewenangan untuk mengadili keputusan politik mayoritas anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. PTUN dinilai melampaui kewenangannya.
“Keputusan PTUN itu melebihi kewenangannya. Ini bukan ranah pejabat TUN (tata usaha negara). Yang menjadi lingkup kewenangan PTUN adalah keputusan pejabat TUN. Ini bukan keputusan pejabat TUN, tapi keputusan mayoritas anggota DPD. Tidak bisa digugat,” kata Hamdan, Jumat (26/5/2023).
Hal ini disampaikan Hamdan ketika ditanya tentang PTUN yang mengabulkan gugatan Fadel Muhammad atas SK DPD RI. SK tersebut berisi penggantian Fadel Muhammad sebagai wakil ketua MPR dengan Tamsil Linrung.
Hamdan menjelaskan, keputusan PTUN ini melebihi kewenangan yang dimiliki PTUN. Menurut Hamdan, SK Penggantian Fadel Muhammad ini bukan keputusan pejabat administasi, melainkan keputusan politik lembaga negara. “Ini keputusan politik mayoritas anggota DPD, bukan keputusan pejabat TUN,” ujar Hamdan.
Sejumlah pakar tata negara juga telah menyebut bahwa keputusan PTUN atas gugatan Fadel Muhammad ini melebihi kewenangannya. Pakar hukum tata negara, Refly Harun, mengingatkan, parah jika sebuah keputusan sidang paripurna bisa di-challenge Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Ia meminta agar tidak mencampur-adukkan kewenangan pengadilan tata negara dengan pengadilan administrasi.
Refly mengatakan, putusan PTUN adalah keputusan yang melebihi kewenangan PTUN. Dipaparkan Refly, yang bisa di-challenge PTUN adalah keputusan yang sifatnya individual, bukan keputusan yang didasarkan pengambilan suara terbanyak. SK Penggantian Fadel Muhammad bukan keputusan ketua atau pimpinan DPD, tetapi keputusan anggota DPD.
Pakar hukum tata negara lainnya, Margarito Kamis, mengatakan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mengabulkan gugatan Fadel Muhammad atas SK DPD RI berbahaya bagi sistem ketatanegaraan. Dikhawatirkan kasus serupa akan terjadi pada hasil sidang paripurna DPR maupun MPR. “Jika keputusan Paripurna DPD bisa diadili pengadilan TUN apapun objeknya, itu sangat berbahaya,” kata Margarito.
Dia menjelaskan, keputusan PTUN yang mengadili hasil sidang paripurna DPD tidak hanya berbahaya bagi DPD, tapi juga bagi DPR RI maupun MPR RI. “Karena suatu saat putusan paripurna DPR, MPR, itu bisa diadili di PTUN dengan alasan ada kekeliruan proses pengambilan keputusan itu atau misalnya quorum tidak terpenuhi, dan sebagainya,” ujar Margarito.