REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, sebuah koalisi yang terdiri atas puluhan organisasi masyarakat sipil, melayangkan somasi kepada KPU RI. Sebab, KPU RI dinilai ingkar janji lantaran tidak kunjung merevisi aturan yang bisa mengurangi jumlah calon anggota legislatif (caleg) perempuan pada Pemilu 2024.
Perwakilan koalisi dari organisasi Maju Perempuan Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, somasi itu disampaikan lewat surat terbuka. Surat itu sudah diterima Sekretariat Jenderal KPU RI pada Jumat (19/5/2023).
"Dalam surat terbuka itu, kami menuntut KPU melaksanakan kewajiban hukum sesuai dengan sumpah jabatan, menerapkan prinsip mandiri dengan segera menetapkan revisi Pasal 8 PKPU 10 Tahun 2023 untuk memulihkan hak politik perempuan sebagai calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 28H Ayat 2 UUD 1945 dan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu," kata Titi, Senin (22/5/2023).
Titi menjelaskan, pihaknya melayangkan somasi karena KPU ingkar janji. KPU RI awalnya menyatakan bersedia merevisi pasal terkait cara penghitungan keterwakilan 30 persen caleg perempuan itu, sebagaimana tuntutan koalisi sipil.
Namun, hingga kini KPU tak kunjung melakukan revisi. KPU justru menyatakan "belum" akan melakukan revisi. Perubahan sikap itu terjadi usai Komisi II DPR RI melalui Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang diikuti KPU, Bawaslu, DKPP, dan Kemendagri pada 17 Mei 2023 meminta KPU tak melakukan revisi.
"KPU tunduk pada hasil konsultasi dengan Komisi II DPR dan Pemerintah yang meminta untuk tidak merevisi Pasal 8 ayat (2) huruf a PKPU 10/2023. Padahal berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 92/PUU/XIV/2016 bahwa konsultasi KPU ke DPR keputusannya tidak bersifat mengikat," kata Titi yang merupakan dosen hukum pemilu di Universitas Indonesia itu.
Dalam surat terbukanya, koalisi sipil juga mendesak KPU segera memublikasikan data terkait pencapaian keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam daftar caleg yang telah diserahkan partai politik. Tujuannya untuk memastikan apakah benar partai politik telah memenuhi ketentuan tersebut.
Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy'ari menyatakan "belum" akan merevisi Pasal 8 dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Padahal, pasal terkait cara penghitungan kuota 30 persen caleg perempuan itu bermasalah karena dapat mengurangi jumlah caleg wanita secara signifikan.
Pasal itu menyatakan bahwa apabila penghitung kuota 30 persen menghasilkan dua angka di belakang koma tak mencapai 50, maka dilakukan pembulatan ke bawah. Problemnya, pendekatan pembulatan ke bawah itu ternyata dapat membuat jumlah bakal caleg perempuan tidak sampai 30 persen per partai di setiap daerah pemilihan (dapil) sebagaimana diamanatkan UU Pemilu.
Sebagai contoh, di sebuah dapil terdapat 4 kursi anggota dewan dan partai politik hendak mengajukan bakal caleg dengan jumlah maksimal, yakni 4 orang. Dengan penghitungan murni 30 persen, berarti partai politik harus mengajukan 1,2 orang bakal caleg perempuan.
Lantaran ada ketentuan pembulatan ke bawah, partai akhirnya hanya wajib mendaftarkan 1 caleg perempuan. Padahal, 1 caleg perempuan dari 4 caleg persentasenya adalah 25 persen, bukan 30 persen.
Berdasarkan simulasi yang dibuat Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, pendekatan pembulatan ke bawah itu dapat mengurangi jumlah bakal caleg DPR RI perempuan hingga 684 orang. Sedangkan pada level DPRD provinsi dan kabupaten/kota dapat mengurangi jumlah bakal caleg wanita hingga ribuan orang di seluruh Indonesia.