REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan penolakan atas penyejajaran tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan yang disusun dengan metode omnibus law. Penyejajaran itu dinilai terlalu berlebihan dan dapat menimbulkan ketidakadilan.
“Ketentuan tersebut harus dihapus karena tidak memenuhi rasa keadilan. Tembakau ini merupakan produk yang legal," ujar anggota Badan Legislasi DPR, Firman Soebagyo, Sabtu (20/5/2023).
Firman menilai, penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika akan mengeliminasi industri hasil tembakau. Hal itu juga dapat sekaligus merenggut nafkah hidup para pekerjanya. Untuk itu, dia meminta agar ketentuan tersebut dihapuskan.
"Sebagai wakil rakyat yang notabene di wilayah saya banyak industri dan petani tembakau, saya punya kewajiban untuk menyampaikan kepada negara dan pemerintah agar ketentuan tersebut dihapus," kata dia.
Anggota Komisi IV dari Fraksi PDIP, Vita Ervina menyebutkan, tembakau merupakan tanaman legal yang peredaran dan produksinya sah secara hukum. Begitu pula dengan nikotin, zat adiktif yang ada di dalamnya. Dia mengatakan, nikotin sama seperti kafein yang terdapat dalam kopi, teh, dan minuman energi.
Mrena itu, menurut dia, tidak seharusnya tembakau dan hasil olahannya diletakkan atau didefinisikan sejajar dalam pasal yang sama dengan narkotika dan psikotropika. "Sangat berbahaya jika disamakan dengan narkotika,” jelas Vita.
Penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika di Omnibus Law Kesehatan terdapat pada pasal 154. Pasal itu akan mengatur terkait produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif yakni tembakau, narkotika, psikotropika, minuman beralkohol, dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya.
Menurut Vita, pasal yang menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika cenderung diskriminatif, tidak menunjukkan keberpihakan kepada rakyat, bahkan berpotensi menimbulkan kriminalisasi bagi petani, pekerja, buruh, konsumen atau seluruh ekosistem Industri Hasil Tembakau (IHT).
Pelolosan pasal itu dinilai akan sama dengan memberi predikat buruk bahwa petani tembakau sama dengan petani ganja. Padahal, pertanian tembakau merupakan salah satu sektor penggerak perekonomian dari bawah.
“Saya meminta pasal tembakau untuk dihilangkan, karena sudah ada aturannya. Aturan yang ada saja sudah ketat, tinggal ditegakkan saja PP yang sudah ada,” terang dia.
Di kesempatan berbeda, anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi PPP, Muslich Zainal Abidin, juga menyuarakan pendapat serupa. Menurutnya, perbedaan antara rokok dengan kedua zat itu bahkan sudah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi lewat tiga putusan yakni nomor 6/PUU-VII/2009, 34/PUU-VIII/2010, dan 71/PUU-XI/2013.
“Menyamakan tembakau dengan narkotika dan psikotropika itu sangat tidak tepat dan sebuah penyesatan karena adiksi yang terdapat pada tembakau tidak sama dengan narkotika dan psikotropika,” kata dia.
Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar M. Yahya Zaini bahkan mengaku akan berupaya mengeluarkan pasal terkait tembakau ini dari RUU Kesehatan atau setidaknya membatalkan penyetaraan tembakau dengan narkotika dan psikotropika.
"Industri tembakau banyak membantu keuangan negara dan melibatkan banyak pekerja, kita akan berusaha melakukan pembicaraan dengan teman-teman fraksi yang sejalan agar masalah ini dicabut,” ujar dia.