Rabu 29 Mar 2023 16:19 WIB

FSGI Sebut Buku Teks Jenjang SD Saat Ini Bertentangan dengan Kebijakan Mendikbudristek

Anak-anak baru bisa fokus belajar hitung-hitungan ketika memasuki usia enam tahun.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus raharjo
Ketua Dewan Pengawas FSGI - Retno Listyarti
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Dewan Pengawas FSGI - Retno Listyarti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menegaskan mendukung kebijakan Merdeka Belajar Episode ke-24. Salah satu poinnya menghilangkan tes baca, tulis, dan menghitung (calistung) dalam PPDB SD.

Namun, langkah tersebut harus disertai juga dengan pembenahan buku teks kelas 1 SD yang terlalu berat bagi anak yang masih belajar baca dan berhitung. "Buku-buku teks jenjang SD saat ini justru bertentangan dengan kebijakan Mendikbudristek, karena buku teks kelas 1 SD sudah penuh dengan tulisan dan bacaan yang panjang-panjang," ujar Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, kepada Republika.co.id, Rabu (29/3/2023).

Baca Juga

Selain itu, kata dia, pelajaran berhitung dalam buku kelas 1 SD juga sudah rumit. Rento memberikan contoh berupa sudah adanga pengurangan dengan angka-angka yang cukup besar. Dia menilai, hal tersebut dapat membuat anak bingung dengan istilah-istilah dalam berhitung.

"Dengan disimpan angkanya atau pinjam ke angka sebelahnya yang puluhan atau yang ratusan. Ini PR yang harus juga dipertimbangkan, buku-buku teks SD kelas 1 seharusnya sejalan dengan kebijakan ini," tegas dia.

Retno juga mengatakan, apabila ada SD yang melakukan tes calistung dalam PPDB, maka satuan pendidikan itu telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dab Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru.

"Umumnya tes calistung dilakukan oleh sekolah berbasis masyarakat atau SD swasta, karena untuk SD negeri atau sekolah milik pemerintah ketentuannya sangat jelas, yaitu seleksi menggunakan usia anak, hanya itu," kata Retno.

Menurut dia, calistung semestinya dimulai ketika anak berusia tujuh tahun atau saat anak memasuki usia SD. Karena itu, dia menilai menerapkan tes calistung ketika anak mau mendaftar SD tidaklah tepat. Umumnya, anak-anak baru bisa fokus untuk belajar hitung-hitungan ketika mereka memasuki usia enam atau tujuh tahun.

Di samping itu, dia juga mengatakan, calistung merupakan pembelajaran dasar yang perlu anak pahami sejak dini guna memermudahnya menerima pelajaran-pelajaran di masa depan. Dengan calistung, anak akan diajarkan untuk mengenal huruf dan angka. Namun, harus berhati-hati saat mengajarkan calistung pada anak dengan mengajarkan sesuai porsinya.

"Orang tua disarankan untuk menghindari mengajarkan calistung pada si Kecil terlalu berat. Sebab, hal tersebut dapat mengganggu mentalnya," kata dia.

Selain menghapuskan tes calistung untuk masuk ke SD, Merdeka Belajar Episode ke-24 juga menargetkan satuan pendidikan di PAUD dan SD/MI/sederajat untuk perlu menerapkan pembelajaran yang membangun enam kemampuan fondasi anak.

Mendikbudristek, Nadiem Makarim, menyampaikan, pihaknya sudah melakukan penyesuaian lewat Kurikulum Merdeka untuk menunjang hal tersebut, termasuk buku teks. "Di dalam Kurikulum Merdeka sudah tidak ada lagi asumsi bahwa anak itu bisa calistung pada saat dia masuk SD," ujar Nadiem dalam pemaparannya terkait Merdeka Belajar Episode ke-24 yang disiarkan secara daring, dikutip Rabu (29/3/2023).

Nadiem memberikan contoh perubahan capaian pembelajaran yang ada pada Kurikulum Merdeka dengan dibandingkan dengan kurikulum lama. Untuk bahasa Indonesia misalnya, di kurikulum lama disebutkan capaian pembelajarannya adalah mengenal teks deskriptif tentang anggota tubuh dan pancaindera. Hal itu, menurut Nadiem, kaku dan sangat detil.

Di Kurikulum Merdeka, kata dia, capaian pembelajaran untuk bahasa Indonesia adalah peserta didik memiliki kemampuan berbahasa untuk berkomunikasi dan bernalar sesuai dengan tujuan, kepada teman sebaya dan orang dewasa di sekitar dirinya. Dia menjelaskan, perubahan capaian pembelajaran serupa itu dilakukan untuk memenuhi enam fondasi yang perlu dimiliki oleh anak.

Contoh lain yang dia berikan terkait dengan pelajaran matematika. Di kurikulum lama capaian pembelajaran sangat spesifik, seperti anak harus bisa mengurai sebuah bilangan asli sampai dengan 99 dan lain sebagainya. Menurut Nadiem, hal itu membuat anak lebih didorong untuk menghapal, bukan memahami intuisi bilangan.

"Kalau dihapal semua juga bisa dengan sangat mudah. Tapi sekarang kita ubah itu menjadi, pada akhir fase A, peserta didik dapat menunjukkan pemahaman dan memiliki intuisi bilangan. Number sense. Sense of number. Hal-hal yang memang lebih rumit untuk dimengerti oleh guru-guru PAUD dan SD. Tapi bukan alasan untuk tidak bisa menguasainya," kata Nadiem.

Pengubahan juga dilakukan terhadap buku-buku teks siswa kelas satu dan dua SD. Menurut Nadiem, Kemendikbudristek sudah mengurasi buku-buku yang diperlukan untuk belajar sehingga dipastikan tidak ada asumsi dalam buku-buku tersebut bahwa anak sudah bisa calistung. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan menyertakan berbagai macam gambar visual dalam buku pelajaran Kurikulum Merdeka.

"Sehingga kalaupun anak itu belum bisa membaca, dia masih bisa mengerti alur cerita daripada materi yang ada dalam buku teks tersebut. Dan konsep-konsep matematika juga visual agar yang dimengerti itu bukan hapalan, tapi konsep daripada numerasi," tegas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement