REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Iran menganggap senjata nuklir "tidak manusiawi" dan "dilarang secara agama," dan menurut Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi, memilikinya dapat menempatkan Teheran "dalam posisi yang lebih rapuh". Meski Araghchi mengakui, di dalam negeri Iran tak satu suara soal senjata nuklir.
"Kami menganggap senjata nuklir tidak hanya tidak manusiawi, tetapi juga dilarang secara agama. Kami tidak berpikir bahwa untuk membela diri, kami akan membutuhkan persenjataan nuklir," kata Araghci kepada CBS News.
"Memiliki persenjataan nuklir bahkan dapat menempatkan kami dalam posisi yang lebih rapuh. Ada pihak lain di dalam Iran yang tidak sependapat dengan pendapat saya," lanjutnya.
Dalam mengomentari pembicaraan nuklir dengan Amerika Serikat, Araghchi mengatakan bahwa Teheran saat ini sedang menilai apakah akan mempercayai Washington dan terlibat dalam negosiasi baru dengan pihak AS setelah konflik Iran-Israel dan keterlibatan Washington di dalamnya.
Sebelumnya pada malam tanggal 13 Juni, Israel melancarkan operasi terhadap Iran, menuduhnya melaksanakan program nuklir militer rahasia. Iran menolak tuduhan tersebut, menanggapi dengan serangannya sendiri. Kedua pihak saling serang selama 12 hari, yang diikuti oleh Amerika Serikat, yang melancarkan serangan satu kali terhadap fasilitas nuklir Iran pada malam tanggal 22 Juni.
Malam berikutnya, Teheran melancarkan serangan rudal terhadap pangkalan AS Al Udeid di Qatar. Presiden AS Donald Trump mengatakan pada tanggal 23 Juni bahwa Israel dan Iran telah sepakat untuk melakukan gencatan senjata guna mengakhiri "perang 12 hari".
Keesokan harinya, Trump mengatakan bahwa gencatan senjata antara Iran dan Israel kini berlaku, dan mendesak kedua belah pihak untuk tidak melanggarnya.