REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memutuskan hakim MK Guntur Hamzah bersalah dalam skandal pengubahan putusan nomor 103/PUU-XX/2022. Tapi Guntur hanya disanksi teguran tertulis atas tindakannya itu.
Eks Wamenkumham Prof Denny Indrayana menaruh kecurigaan atas sanksi itu. Sebab, ia meyakini kesalahan Guntur merupakan kesalahan sangat fundamental, yaitu mengubah putusan MK.
"Indikasi kuat bahwa hukuman ringan itu merupakan tukar-guling untuk Hakim Guntur untuk memutus perkara di MK sesuai kepentingan kekuasaan yang melindunginya," kata Denny dalam keterangannya dikutip pada Rabu (22/3).
Denny mengkhawatirkan hakim-hakim yang kehilangan integritas justru tetap bertahan di MK. Padahal MKMK sudah memutuskan Guntur Hamzah melanggar kode etik, khususnya berkaitan nilai integritas. "Ini menyebabkan MK kehilangan independensi dan kewibawaan institusionalnya," ucap Denny.
Denny mengamati ada intervensi dalam gerak langkah hakim MK. Sehingga ia tidak yakin atas independensi dan integritas mayoritas hakim konstitusi. Apalagi menyusul sanksi ringan Guntur Hamzah.
"MK sekarang sebagaimana pula KPK sudah dikerdilkan dan mudah diintervensi dengan pertimbangan dan kepentingan non-konstitusi," ujar Guru Besar Hukum Tata Negara itu.
Lebih lanjut, Denny menganalisa para hakim MK sebenarnya telah mendapatkan gratifikasi jabatan hingga mulai kehilangan moralitasnya sebagai negarawan sejak pengubahan UU MK. Aturan itu memperpanjang masa jabatan hakim MK selama 15 tahun atau hingga usia 70 tahun. Masalah diperparah dipaksa berhentinya Hakim MK Aswanto untuk diganti Guntur Hamzah.
"Maka berharap banyak untuk MK menunjukkan wibawanya sebagai pengawal konstitusi, saya khawatir ibarat pungguk merindukan bulan," ujar Senior Partner INTEGRITY Law Firm itu.
Sebelumnya, MKMK memutus Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah terbukti melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Guntur melanggar prinsip integritas dalam Sapta Karsa Hutama.
Ketua Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna menemukan fakta bahwa benar telah terjadi perubahan frasa “Dengan demikian” menjadi “Ke depan” dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022 bertanggal 23 November 2022. Perubahan tersebut menjadi sebab terjadinya perbedaan antara bunyi naskah putusan yang diucapkan/dibacakan dalam sidang pengucapan putusan tanggal 23 November 2022 dan yang tertera dalam laman Mahkamah Konstitusi yang ditandatangani oleh sembilan orang hakim konstitusi.
"Bahwa secara hukum, Hakim Terduga berhak melakukan perbuatan dan sudah merupakan kelaziman yang berjalan bertahun-tahun di Mahkamah Konstitusi," kata Palguna dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK pada Senin (20/3).
Perubahan tersebut diakui dilakukan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah sebagai Hakim Terduga dengan alasan sebagai usul atau saran perubahan terhadap bagian pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 103/PUU-XX/2022.
"Sepanjang mendapatkan persetujuan dari hakim lainnya yang ikut memutus, setidak-tidaknya hakim drafter, terlepas dari soal belum adanya prosedur operasi standar mengenai hal dimaksud," ujar Palguna.
Atas pelanggaran tersebut, M. Guntur Hamzah hanya dikenakan sanksi teguran tertulis sebagai Hakim Terduga. Demikian Putusan Majelis Kehormatan MK Nomor 1/MKMK/T/02/2023 dibacakan secara langsung oleh Ketua sekaligus Anggota Majelis Kehormatan MK I Dewa Gede Palguna (tokoh masyarakat) dengan didampingi oleh Anggota Majelis Kehormatan MK lainnya, yakni Enny Nurbaningsih (Hakim Konstitusi aktif), dan Sudjito (akademisi). Putusan tersebut dibacakan dalam Sidang Pembacaan Putusan yang berlangsung pada Senin (20/3/2023) di Ruang Sidang Panel Gedung 1 MK.